Banyak definisi ttg Tasawuf dibuat para ahli, tapi bagi Ibn Arabi, Tasawuf berarti (proses) mengaktualkan potensi akhlak Allah yg ada di dlm diri kita, dan menjadikannya akhlak kita (AL-TAKHALLUQ BI AKHLAQ ALLAH). Sebuah definisi yg ringkas dan simple, tapi di baliknya terkandung pemikiran yang sangat mendalam.
Dan ini terkait dengan gagasan tentang manusia bahkan alam semesta sebagai tajalli (pancaran, manifestasi) Allah swt. Manusia sebagai pembawa Roh-Nya, yang dicipta atas fitrah keilahian dan, dengan demikian, kepenuhan dan kebahagiaan hidupnya, bukan hanya di akhirat, melainkan juga dunia, tergantung pada keberhasilannya mengaktualkan potensi keilahian-Nya itu.
“Dan ketika Aku sempurnakan ciptaan manusia, maka Aku tiupkan ke dalamnya bagian ruh-Ku”. Dalam bahasa Ibn Arabi, berakhlak dengan Akhlak Allah seperti dengan menanamkan Asma/Sifat-Nya di dalam diri kita. Dengan kata lain, menjadikan akhlak kita berakar pada Akhlak-Nya.
Dan ini terkait dengan gagasan tentang manusia bahkan alam semesta sebagai tajalli (pancaran, manifestasi) Allah swt. Manusia sebagai pembawa Roh-Nya, yang dicipta atas fitrah keilahian dan, dengan demikian, kepenuhan dan kebahagiaan hidupnya, bukan hanya di akhirat, melainkan juga dunia, tergantung pada keberhasilannya mengaktualkan potensi keilahian-Nya itu.
“Dan ketika Aku sempurnakan ciptaan manusia, maka Aku tiupkan ke dalamnya bagian ruh-Ku”. Dalam bahasa Ibn Arabi, berakhlak dengan Akhlak Allah seperti dengan menanamkan Asma/Sifat-Nya di dalam diri kita. Dengan kata lain, menjadikan akhlak kita berakar pada Akhlak-Nya.
Ibn Arabi segera melihat bahwa kesamaan kata dasar khulq (bentuk tunggal akhlaq) dengan kata khalq (ciptaan) menunjukkan bahwa sesungguhnya potensi Akhlak Tuhan sudah tertanam dan menjadi bawaan (fitrah/khalq) manusia betapa pun masih potensial. Syaikh menyebutnya sbg kesiapan (jibillah, disposisi). Bertasawuf menurut Syaikh adalah mengembangkan atau mengaktualisasikan potensi akhlak keilahian yang ada pada ciptaan yang bernama makhluk manusia dalam kehidupan aktualnya.
(Proses) menuju hidup berakhlak dengan Akhlak Allah, itulah Tasawuf, ujarnya. Ibn Arabi merujukk Asma Allah yang ia maksudkan kepada “al-Asma al-Husna” (Nama-Nama Yang Baik) Allah yang terdapat dalam al-Quran, meski menyebut bahwa yang pasti Asma Allah yang disebut dalam al-Quran berjumlah 83, bukan 99.
(Proses) menuju hidup berakhlak dengan Akhlak Allah, itulah Tasawuf, ujarnya. Ibn Arabi merujukk Asma Allah yang ia maksudkan kepada “al-Asma al-Husna” (Nama-Nama Yang Baik) Allah yang terdapat dalam al-Quran, meski menyebut bahwa yang pasti Asma Allah yang disebut dalam al-Quran berjumlah 83, bukan 99.
Ibn Arabi malah mengutip sebuah hadis Nabi yang menyatakan, Allah memiliki 300 nama. “Barangsiapa berhasil menanamkan satu saja dari asma-Nya, maka dia dijamin masuk Surga”. Memang, jika mau lebih teliti, sebetulnya Asma Allah itu tak terbatas jumlahnya, sejalan dgn ketakterbatasan Wujud dan Tajalliyat-Nya dalam ciptaan (Afal). Ibn Arabi mengambil tamsil cahaya. Pada dasarnya, cahaya berwarna putih.
Tapi, jika diuraikan, dia memiliki 7 unsur warna utama. Lebih jauh dari itu, setiap unsur warna dapat diuraikan lebih lanjut ke unsur-unsur yang lebih banyak. Begitu seterusnya, hingga tidak terbatas. Meski demikian, jika dikelompokkan, Allah memiliki Asma yang termasuk dalam kelompok Asma Jalaliyah (nama-nama yang mencerminkan kedahsyatannya yang menggentarkan) dan kelompok Asma Jamaliyah (nama-nama yang mencerminkan keindahan dan kelembutannya yang memesonakan).
Tapi, jika diuraikan, dia memiliki 7 unsur warna utama. Lebih jauh dari itu, setiap unsur warna dapat diuraikan lebih lanjut ke unsur-unsur yang lebih banyak. Begitu seterusnya, hingga tidak terbatas. Meski demikian, jika dikelompokkan, Allah memiliki Asma yang termasuk dalam kelompok Asma Jalaliyah (nama-nama yang mencerminkan kedahsyatannya yang menggentarkan) dan kelompok Asma Jamaliyah (nama-nama yang mencerminkan keindahan dan kelembutannya yang memesonakan).
Manusia harus mampu menanamkan semuanya itu di dlm dirinya, dlm kombinasi yang lengkap dan utuh. Mengambilnya secara sebahagian dan tidak seimbang akan justru menjadikan akhlak yg berkembang bersifat Madzmumah (akhlak yang buruk), bukan justru Al-Akhlaq Al-Karimah (akhlak mulia) yg dianjurkan.
Misal, menerapkan sifat keras (Qahr) dan kuasa (Jabr) tanpa kasih sayang (Rahmaniyah) dan keadilan (Adl) akan mengakibatkan kesombongan dan kesewenangan yang menindas. Kombinasi utuh-menyeluruh dan seimbang ini diwakili oleh Nama Allah sbg nama-penghimpun (Al-Ism Al-Jami) semua Nama Allah yang tak terbatas itu, dan sebaliknya. Melanjutkan tamsil warna di atas, berakhlak dgn Akhlak Allah sama dgn menananmkan Akhlak Allah itu dlm kombinasi yg utuh dan pas sehingga unsur2 akhlak itu menghasil kan warna cahaya putih yg seimbang.
Lebih dari itu, Ibn Arabi tak melihat kombinasi seimbang dari berbagai Asma Allah itu sbg bersifat neutral yakni gabungan dari yg Jamaliyat dan Jalaliyat atau seluruh spektrum-warna Sifat-Nya dengan sama kuat melainkan sebagai didominasi dgn yg Jamaliyat.
Misal, menerapkan sifat keras (Qahr) dan kuasa (Jabr) tanpa kasih sayang (Rahmaniyah) dan keadilan (Adl) akan mengakibatkan kesombongan dan kesewenangan yang menindas. Kombinasi utuh-menyeluruh dan seimbang ini diwakili oleh Nama Allah sbg nama-penghimpun (Al-Ism Al-Jami) semua Nama Allah yang tak terbatas itu, dan sebaliknya. Melanjutkan tamsil warna di atas, berakhlak dgn Akhlak Allah sama dgn menananmkan Akhlak Allah itu dlm kombinasi yg utuh dan pas sehingga unsur2 akhlak itu menghasil kan warna cahaya putih yg seimbang.
Lebih dari itu, Ibn Arabi tak melihat kombinasi seimbang dari berbagai Asma Allah itu sbg bersifat neutral yakni gabungan dari yg Jamaliyat dan Jalaliyat atau seluruh spektrum-warna Sifat-Nya dengan sama kuat melainkan sebagai didominasi dgn yg Jamaliyat.
Terkait dengan ini Syaikh merujuk pada berbagai ayat al-Quran yg bermakna seperti ini, termasuk : Kasih-sayangnya meliputi segala sesuatu. Juga hadis Qudsi yg berbunyi Kasih-sayang-Ku mendominasi murka-Ku. Dengan demikian, menanamkan Akhlak Allah seperti dengan menanamkan sifat cinta di dalam diri kita dan menjadikannya sumber bagi setiap tindakan kita, baik dalam berinteraksi dgn Allah, manusia, maupun alam semesta selebihnya.
Kesemuanya itu, menurut Ibn Arabi, hanyalah mungkin dicapai dgn mentaati dan menjalankan ajaran Syariah dgn sebaik2nya dlm kehidupan kita. Manusia yg mampu menanamkan Akhlak Allah secara sempurna dalam dirinya inilah yang disebut sebagai AL-INSAN AL-KAMIL (manusia paripurna). Merekalah, selain para Nabi, Awliya (Para Sahabat)-Nya. Merekalah Para Sufi Sejati.
No comments:
Post a Comment