Insan Kamil artinya adalah manusia sempurna, berasal dari kata 'Al-Insan' yang berarti manusia dan 'Al-Kamil' yang berarti sempurna. Konsep filosofi ini pertama kali muncul dari gagasan tokoh Sufi Ibnu Arabi. Oleh Abdul Karim bin Ibrahim al-Jili (1365-1428 M), pengikutnya, gagasan ini dikembangkan menjadi bagian dari renungan mistis yang bercorak Tasawuf filosofis. Al-Jili merumuskan Insan Kamil ini dengan merujuk pada diri Nabi Muhammad Saw sebagai satu contoh manusia ideal.
Jati diri Muhammad (al-haqiqah al-Muhammad) yang demikian tidak semata-mata difahami dalam pengertian Muhammad Saw sebagai Utusan Tuhan, tetapi juga sebagai Nur (cahaya/ruh) Ilahi yang menjadi pangkal dan pengertian kehidupan di jagad raya ini. Nur Ilahi kemudian dikenal sebagai Nur Muhammad oleh kalangan Sufi, disamping terdapat dalam diri Muhammad juga dipancarkan Allah SWT ke dalam diri Nabi Adam as. Al-Jili dengan karya monumentalnya yang berjudul 'Al-Insan al-Kamil fi Ma’rifah al-Awakir wa al-Awa’il' (Manusia Sempurna dalam Konsep Pengetahuan tentang Misteri yang Pertama dan yang Terakhir) mengawali pembicaraannya dengan mengidentifikasikan Insan Kamil dengan 2 pengertian:
PERTAMA, Insan Kamil dalam pengertian konsep pengetahuan mengenai manusia yang sempurna. Dalam pengertian demikian, Insan Kamil terkait dengan pandangan mengenai sesuatu yang dianggap mutlak, iaitu Tuhan. Yang Mutlak tersebut dianggap mempunyai sifat-sifat tertentu, yakni yang baik dan sempurna. Sifat sempurna inilah yang patut ditiru oleh manusia. Seseorang yang makin memiripkan diri pada sifat sempurna dari Yang Mutlak tersebut, maka makin sempurnalah dirinya.
KEDUA, Insan Kamil terkait dengan jati diri yang mengidealkan kesatuan nama serta Sifat-Sifat Tuhan ke dlm hakikat atau esensi dirinya. Dlm pengertian ini, nama esensial dan Sifat2 Ilahi tersebut pada dasarnya juga menjadi milik manusia sempurna oleh adanya hak fundamental, iaitu sbg suatu keniscayaan yg inheren dlm esensi dirinya. Hal itu dinyatakan dlm ungkapan yg sering terdengar, iaitu Tuhan berfungsi sebagai 'Cermin bagi manusia dan manusia menjadi Cermin bagi Tuhan' untuk melihat diri-Nya.
Bagi Al-Jili, manusia dapat mencapai jati diri yang sempurna melalui latihan ruhani dan pendakian mistik, bersamaan dengan turunnya Yang Mutlak ke dalam manusia melalui berbagai tingkat. Latihan rohani ini diawali dengan manusia bermeditasi tentang Nama dan Sifat-Sifat Tuhan, dan mulai mengambil bagian dalam Sifat2 Ilahi serta mendapat kekuasaan yang luar biasa. Pada tingkat ketiga, ia melintasi daerah nama serta Sifat Tuhan, masuk ke dalam suasana hakikat mutlak, dan kemudian menjadi “manusia Tuhan” atau Insan Kamil.
Matanya menjadi mata Tuhan, kata-katanya menjadi kata2 Tuhan, dan hidupnya menjadi hidup Tuhan (Nur Muhammad). Muhammad Iqbal tidak setuju dengan teori Para Sufi seperti pemikiran al-Jili ini. Menurutnya, hal ini membunuh individualiti dan melemahkan jiwa. Iqbal memang memandang dan mengakui Nabi Muhammad Saw sbg Insan Kamil, tetapi tanpa penafsiran secara mistik.
Matanya menjadi mata Tuhan, kata-katanya menjadi kata2 Tuhan, dan hidupnya menjadi hidup Tuhan (Nur Muhammad). Muhammad Iqbal tidak setuju dengan teori Para Sufi seperti pemikiran al-Jili ini. Menurutnya, hal ini membunuh individualiti dan melemahkan jiwa. Iqbal memang memandang dan mengakui Nabi Muhammad Saw sbg Insan Kamil, tetapi tanpa penafsiran secara mistik.
Insan Kamil versi Iqbal tidak lain adalah Sang Mukmin, yang dalam dirinya terdapat kekuatan, wawasan, perbuatan, dan kebijaksanaan. Sifat-sifat luhur ini dalam wujudnya yang tertinggi tergambar dalam akhlak Nabi Muhammad Saw. Insan Kamil bagi Iqbal adalah Sang Mukmin yang merupakan makhluk moralis, yang dianugerahi kemampuan rohani dan Agama.
Untuk menumbuhkan kekuatan dalam dirinya, Sang Mukmin senantiasa meresapi dan menghayati akhlak Ilahi. Sang mukmin menjadi tuan terhadap nasibnya sendiri dan secara tahap demi tahap mencapai kesempurnaan. Iqbal melihat, Insan Kamil dicapai melalui beberapa proses. Pertama, ketaatan pada hukum. Kedua penguasaan diri sebagai bentuk tertinggi kesadaran diri tentang peribadi. Dan ketiga kekhalifahan Ilahi.
Untuk menumbuhkan kekuatan dalam dirinya, Sang Mukmin senantiasa meresapi dan menghayati akhlak Ilahi. Sang mukmin menjadi tuan terhadap nasibnya sendiri dan secara tahap demi tahap mencapai kesempurnaan. Iqbal melihat, Insan Kamil dicapai melalui beberapa proses. Pertama, ketaatan pada hukum. Kedua penguasaan diri sebagai bentuk tertinggi kesadaran diri tentang peribadi. Dan ketiga kekhalifahan Ilahi.
No comments:
Post a Comment