Sunday, July 24, 2016

TERSERAH PADAMU YA ALLAH

Suatu hari Guru berkata: “Sebagian besar manusia berdoa agar diberi kekayaan duniawi, sebagian kecil orang-orang yang fokus kepada ibadah berdoa agar diberikan kekayaan akhirat, sedangkan aku tidak berdoa apa-apa tentang itu, aku terserah apa kehendak Allah”. Di lain kesempatan Beliau berkata: “Orang awam mohon kepada Allah agar dijauhkan dari bala, sedangkan bagi sebahagian Wali/Nabi justru meminta bala atau cubaan dari Allah kerana bagi mereka cubaan adalah bentuk dari perhatian dan kasih sayang Allah, sedangkan aku, terserah kehendak Allah semata, diberi nikmat aku syukuri, diberi cubaan aku syukuri, bagi ku keduanya sama-sama berasal dari Allah Yang Maha Baik”. 

Guru sedang berbicara tentang hakikat pasrah, hakikat dari 'La Haula Wala Quwwata Illa Billah', tiada daya upaya melainkan kekuatan Allah semata. Allah lebih mengetahui apa yang terbaik untuk kita, manusia hasil ciptaan-Nya dibandingkan siapapun, bahkan dibandingkan manusia paling cerdas siapapun. Manusia hanya diberi kemampuan oleh Allah untuk menggali hal-hal bersifat lahiriah, maka lahirlah berbagai cabang ilmu dengan tujuan agar manusia menjadi lebih baik, dalam menjalani kehidupan di dunia ini.

Pasrah dengan putus asa adalah 2 hal yang berbeza, pasrah lahir dari keyakinan penuh kepada Allah kerana dia sangat mengenal Allah, sangat yakin akan kebaikan Allah kepadanya maka dia serahkan semua kepada Allah sedangkan putus asa lahir dari bisikan syaitan dalam dada manusia, wujud protes dari keadaan yg tidak dikehendakinya. Seorang pecinta atau hamba yang baik akan selalu memanjatkan syukur terhadap apa yang diberikan bahkan terhadap apa yang tidak dimilikinya. D

alam hal ini Guru Sufi Junaidi al-Bahgdadi berkata: “Orang yang bersyukur adalah orang yang bersyukur atas apa yang ada, dan orang yang sangat bersyukur adalah orang yang bersyukur atas apa yang tidak ada”. Beliau juga berkata: “Bersyukur adalah bahawa engkau tidak memandang layak menerima nikmat”. Hal ini yg selalu diingatkan oleh Guru, bahawa kurniaan apapun diberikan Allah bukan kerana darjat kita tapi kerana KASIH SAYANG ALLAH semata mata. Ketika Guru menaikkan darjat murid, menjadi petugas atau khalifahnya maka berulang kali Guru mengingatkan, sebenarnya kalian belum layak duduk di posisi itu, ibarat pepatah 'tak ada rotan akar pun jadi, tak ada akar tali pisang pun jadi, “Hai tali pisang, sadarlah selalu!”.

Kembali kepada meminta, ketika kalian bermohon kepada Allah meminta sesuatu, kemudian berulang kali meminta, menunggu dengan sabar maka akhirnya lahirlah sikap putus asa, kalian kemudian menyebutnya “aku pasrah saja”, padahal itu adalah wujud dari putus asa. Bagaimana kalian boleh menyebut itu sebagai kepasrahan kalau kalian sebelumnya meminta kepada Sang Maha Raja. Hamba yang baik tidak pernah meminta apapun, lapar dan kenyang diserahkan kepada Tuannya, senang dan susah sesuai kehendak Tuannya, kalau kesusahan membuat Sang Maha Raja Senang, maka dia pun senang dgn keadaannya. 

Pasrah ibarat bayi dalam gendongan ibunya, tidak berkehendak sama sekali. Pasrah lahir dari rasa cinta yang mendalam dan bergelora kepada kekasih, tidak pernah meminta apa-apa dari Sang Kekasih kerana perjumpaan adalah pencerahan, perpisahan merupakan rindu tanpa atas. Bertemu dan berpisah tidak mempengaruhi keadaan rohaninya, keduanya mempunyai nilai sama. Ketika terpisah secara ragawi maka rohani terbang menuju kekasih, ketika berjumpa secara ragawi maka rohani tetap berjumpa, jauh dan dekat tidak mempengaruhi bagi para pecinta.

Para pecinta yang sedang mabuk tidak akan pernah bertanya tentang benar salah, susah senang, jauh dekat bahkan kematian pun tidak menjadi bahan perhatiannya, tidak mengalihkan pandangannya dari Sang Kekasih. Cinta kepada Sang Kekasih ini telah digambarkan oleh Nabi Muhammad SAW dalam bentuk doa Nabi Daud as. Beliau bersabda: “Di antara doa Nabi Daud a.s ialah: “Ya Allah, sesungguhnya aku memohon kepadaMu cintaMu dan cinta org2 yang mencintaiMu dan aku memohon kepadaMu perbuatan yang dapat menghantarku kepada cintaMu. Ya Allah, jadikanlah cintaMu lebih kucintai daripada diriku dan keluargaku serta air dingin”. 

Dan bila Rasulullah s.a.w mengingat Nabi Daud a.s beliau menggelarinya sebaik-baik manusia dalam beribadah kepada Allah.” (HR Tirmidzi). Pasrah yang merupakan buah dari cinta dan rindu kepada Allah melahirkan sikap kehati-hatian dalam bertindak, dunia Sufi menyebutnya sebagai Wara’ melakukan apapun hanya atas izin Allah semata. Selalu ada rasa takut kehilangan dalam dirinya, takut kalau ucapan dan tindakannya tidak di redhai oleh Allah, Sang Kekasih.

Kita selalu diajar oleh Guru untuk selalu mengucapkan astaghfirullah dalam hati, bermohon ampun berulang kali setiap akan berdakwah atau menyampaikan Firman Allah atau Hadis Nabi, mohon agar Allah memberikan bimbingan. Mampu ketika kita menyampaikan sesuatu tanpa diiringi mohon ampun dan mengharap bimbingan, syaitan menyusup ke dalam hati, maka walaupun Firman Allah dibacakan dengan merdu, pada hakikatnya tidak ada Allah disana, yang ada hanya syaitan yang menyusup dalam hati orang-orang yang mendengar, ini yang di khawatirkan oleh Para Wali Allah. 

Seperti halnya sikap hati-hati dari Rabi’ah al-Adawiyah dalam doanya: “Aku mohon ampun kepada Allah oleh perkataanku yang kurang benar, aku mohon ampun, Ya Allah”. Rasulullah saw yang merupakan teladan kita selalu mohon ampun kepada Allah setiap saat: “Demi Allah, sesungguhnya aku memohon ampun dan bertaubat kepada Allah dalam sehari lebih dari 70 kali.” (HR. Bukhari). Wallahua’lam.

No comments:

Post a Comment