Saya seringkali dapat pertanyaan lewat email tentang hubungan antara syariat dan hakikat. Pada kesempatan ini saya ingin sedikit membahas hubungan yang sangat erat antara keduanya. Syariat bisa diibaratkan sebagai jasmani/badan tempat ruh berada sementara hakikat ibarat ruh yang menggerakkan badan, keduanya sangat berhubungan erat dan tidak bisa dipisahkan. Badan memerlukan ruh untuk hidup sementara ruh memerlukan badan agar memiliki wadah. Saidi Syekh Muhammad Hasyim Al-Khalidi guru Mursyid dari Ayahanda Prof. Dr. Saidi Syekh Kadirun Yahya MA. M.Sc mengibaratkan syariat laksana baju sedangkan hakikat ibarat badan. Dalam beberapa pantun yang Beliau ciptakan tersirat pesan2 tentang pentingnya merawat tubuh sebagai perhatian utama sedangkan merawat baju juga tidak boleh dilupakan.
Imam Malik mengatakan bahwa seorang mukmin sejati adalah orang yang mengamalkan syariat dan hakikat secara bersamaan tanpa meninggalkan salah satunya. Ada adagium cukup terkenal, “Hakikat tanpa syariat adalah kepalsuan, sedang syariat tanpa hakikat adalah sia-sia.” Imam Malik berkata, “Barangsiapa bersyariat tanpa berhakikat, niscaya ia akan menjadi fasik. Sedang yang berhakikat tanpa bersyariat, niscaya ia akan menjadi zindik.Barangsiapa menghimpun keduanya (syariat dan hakikat), ia benar2 telah berhakikat.” Syariat adalah hukum2 atau aturan2 dari Allah yang disampaikan oleh Nabi untuk dijadikan pedoman kepada manusia, baik aturan ibadah maupun yang lainnya. Apa yang tertulis dalam Al-Qur’an hanya berupa pokok ajaran dan bersifat universal, karenanya Nabi yang merupakan org paling dekat dengan Allah dan paling memahami Al-Qur’an menjelaskan aturan pokok tersebut lewat ucapan dan tindakan Beliau, para sahabat menjadikan sebagai pedoman kedua yg dikenal sebagai hadist. Ucapan Nabi bernilai tinggi dan masih sarat dgn simbol2 yg memerlukan keahlian utk menafsirkannya.
Para sahabat sebagai org2 pilihan yang dekat dengan nabi merupakan orang yang paling memahami nabi, mereka paling mengerti akan ucapan Nabi karena memang hidup sezaman dengan nabi. Penafsiran dari para sahabat itulah kemudian diterjemahkan dalam bentuk hukum-hukum oleh generasi selanjutnya. Para ulama sebagai pewaris ilmu Nabi melakukan ijtihad, menggali sumber utama hukum Islam kemudian menterjemahkan sesuai dengan perkembangan zaman saat itu, maka lahirlah cabang2 ilmu yg digunakan sampai generasi sekarang. Sumber hukum Islam itu kemudian dikenal memiliki 4 pilar yaitu : Al-Qur’an, Hadist, Ijmak dan Qiyas, itulah yang kita kenal dengan syariat Islam. Untuk melaksanakan Syariat Islam terutama bidang ibadah harus dengan metode yang tepat sesuai dgn apa yg diperintahkan Allah dan apa yg dilakukan Rasulullah saw sehingga hasilnya akan sama. Sbg contoh sederhana, Allah memerintahkan kita untuk shalat, kemudian Nabi melaksanakannya, para sahabat mengikuti. Nabi mengatakan, “Shalatlah kalian seperti aku shalat”. Tata cara shalat Nabi yang disaksikan oleh sahabat dan juga dilaksanakan oleh sahabat kemudian dijadikan aturan oleh Ulama, maka kita kenal sebagai rukun shalat yang 13 perkara. Kalau hanya sekedar shalat maka aturan 13 itu bisa menjadi pedoman untuk seluruh ummat Islam agar shalatnya standar sesuai dgn solat Nabi. Akan tetapi, dalam rukun shalat tidak diajarkan cara supaya khusyuk dan supaya bisa mencapai tahap makrifat dimana hamba bisa memandang wajah Allah SWT.
Ketika memulai solat dgn “Wajjahtu waj-hiya lillaa-dzii fatharas-samaawaati wal-ardho haniifam-muslimaw- wamaa ana minal-musy-rikiin..” Kuhadapkan wajahku kpd wajah-Nya Zat yg menciptakan langit dan bumi, dgn keadaan lurus dan berserah diri, dan tidaklah aku termasuk org2 yg musyrik. Seharusnya seorang hamba sudah menemukan chanel atau gelombang kpd Tuhan, menemukan wajahnya yg Maha Agung, sehingga kita tidak termasuk org musyrik menyekutukan Tuhan. Kita dgn mudah menuduh musyrik kpd org lain, tanpa sadar kita hanya mengenal nama Tuhan saja sementara yang hadir dalam shalat wajah-wajah lain selain Dia. Kalau wajah-Nya sudah ditemukan di awal solat maka ketika sampai kpd bacaan Al-Fatihah, disana benar2 terjadi dialog yang sangat akrab antara hamba dengan Tuhannya.
Syariat tidak mengajarkan hal-hal seperti itu karena syariat hanya berupa hukum atau aturan. Untuk bisa melaksanakan syariat dengan benar, ruh ibadah itu hidup, diperlukan metodologi pelaksanaan teknisnya yang dikenal dengan Tariqatullah jalan kepada Allah yang kemudian disebut dengan Tarekat. Jadi Tarekat itu pada awalnya bukan perkumpulan org2 mengamalkan zikir. Nama Tarekat diambil dari sebuah istilah di zaman Nabi yaitu Tariqatussiriah yang bermakna Jalan Rahasia atau Amalan Rahasia untuk mencapai kesempurnaan ibadah. Munculnya perkumpulan Tarekat dikemudian hari adalah untuk menyesuaikan dengan perkembangan zaman agar org2 dalam ibadah lebih teratur, tertib dan terorganisir seperti nasehat Syaidina Ali bin Abi Thalib kw, “Kejahatan yang teratur akan bisa mengalahkan kebaikan yg tidak teratur”.
Kalau ajaran2 agama yg kita kenal dgn syariat itu tidak dilaksanakan dgn metode yg benar (Thariqatullah) maka ibadah akan menjadi kosong hanya sekedar memenuhi kewajiban agama saja. Solat hanya mengikuti rukun2 dgn gerak kosong belaka, badan bergerak mengikuti gerakan shalat namun hati berkelana kemana2. Sepanjang solat akan muncul berjuta khayalan karena ruh masih di alam dunia belum sampai ke alam Rabbani. Ibadah haji yg merupakan puncak ibadah, diundang oleh Maha Raja Dunia Akhirat, seharusnya disana berjumpa dgn yg mengundang yaitu Pemilik Ka’bah, pemilik dunia akhirat, Tuhan seru sekalian alam, tapi yang terjadi yg dijumpai disana hanya berupa dinding dinding batu yg ditutupi kain hitam. Pada saat wukuf di arafah itu adalah proses menunggu, menunggu Dia yg dirindui oleh sekalian hamba utk hadir dalam kekosongan jiwa manusia, namun yg ditunggu tak pernah muncul.
Disini sebenarnya letak kesilapan kaum muslim diseluruh dunia, terlalu disibukkan aturan syariat dan lupa akan ilmu untuk melaksanakan syariat itu dgn benar yaitu Tarekat. Ketika ilmu tarekat dilupakan bahkan sebagian org bodoh menganggap ilmu warisan nabi ini sebagai bid’ah maka pelaksanaan ibadah menjadi kacau balau. Badan seolah-olah khusuk beribadah sementara hatinya lalai, menari-nari di alam duniawi dan yang didapat dari shalat itu bukan pahala tapi ancaman Neraka Wail. Harus di ingat bawah “Lalai” yang di maksud disana bukan sekedar tidak tepat waktu tapi hati sepanjang ibadah tidak mengingat Allah. Bagaimana mungkin dlm solat bisa mengingat Allah kalau diluar solat tidak di latih ber-Dzikir (mengingat) Allah? dan bagaimana mungkin seorang bisa berdzikir kalau jiwanya belum disucikan? Urutan latihannya sesuai dengan perintah Allah dalam surat Al ‘Ala, “Beruntunglah orang yang telah disucikan jiwanya/ruhnya, kemudian dia berdzikir menyebut nama Tuhan dan kemudian menegakkan shalat”.
Kesimpulan dari tulisan singkat ini bahwa sebenarnya tidak ada pemisahan antara ke empat ilmu yaitu Syariat, Tarekat, Hakikat dan Makrifat, ke empatnya adalah SATU. Iman dan Islam bisa dijelaskan dgn ilmu syariat sedangkan maqam Ihsan hanya bisa ditempuh lewat ilmu Tarekat. Ketika kita telah mencapai tahap Makrifat maka dari sana kita bisa memandang dgn jelas bahwa ke empat ilmu tersebut tidak terpisah tapi SATU. Tulisan ini saya tulis dlm perjalanan ziarah ke Maqam Guru saya tercinta, teringat pesan2 Beliau akan pentingnya ilmu Tarekat sebagai penyempurnaan Syariat agar mencapai Hakikat dan Makrifat. Mudah2an tulisan ini bisa menjadi renungan dan memberikan manfaat untuk kita semua. Amin!
No comments:
Post a Comment