Ilmu Jawa melihat bahwa roh manusia memiliki pamomong (pembimbing) yang disebut pancer atau guru sejati.Pamomong atau Guru Sejati berdiri sendiri menjadi pendamping dan pembimbing roh atau sukma. Lebih jauh dikatakan bahwa guru sejati merupakan kehadiran Illahi dalam diri manusia.Berbeda dengan watak kemanusiaan (kamanungsan), Guru Sejati memiliki hakekat “sifat-sifat” Tuhan (frekuensi kebaikan) yang abadi konsisten, tidak berubah-ubah (kang langgeng tan owah gingsir). Jiwa, hawa atau nafs yang telah diperkuat dengan sukma sejati dalam terminologi Arab disebut ruh al quds’, disebut juga sebagai an-nafs al-muthmainah, adalah sebagai “penasihat spiritual” bagi jiwa/nafs/hawa.Jiwa perlu di dampingi oleh Guru Sejati karena ia dapat dikalahkan oleh nafsu yang berasal dari jasad/raga/organ tubuh (badan wadhag) manusia.
Jiwa yang ditundukkan oleh nafsu hanya akan merubah karakternya menjadi jahat. Menurut ngelmu Kejawen, ilmu seseorang dikatakan sudah mencapai puncaknya apabila sudah bisa menemui wujud Guru Sejati.Guru Sejati benar-benar bisa mewujud dalam bentuk “halus”, wujudnya mirip dengan diri kita sendiri.Ini terjadi ketika frekwensi (getaran bathin) kita cocok (harmony) dengan frekwensi Illahi, sehingga terjadi resonansi yang menguatkan.Bagi yang belum bisa bertemu Guru Sejati, anda jangan pesimis, sebab Guru Sejati akan selalu mengirim pesan-pesan berupa sinyal dan getaran melalui Hati Nurani anda. Maka anda dapat mencermati suara hati nurani anda sendiri untuk memperoleh petunjuk penting bagi permasalahan yang anda hadapi.
Namun permasalahannya, jika kita kurang mengasah ketajaman batin, sulit bagi kita untuk membedakan apakah yang kita rasakan merupakan kehendak hati nurani (kareping rahsa) ataukah kemauan hati atau hawa nafsu (rahsaning karep).Artinya, bila Guru Sejati menggerakkan suara hati nurani yang diidentifikasi pula sebagai kareping rahsa atau kehendak rasa (petunjuk Tuhan) sedangkan hawa nafsu tidak lain merupakan rahsaning karep atau rasanya keinginan.Sarat utama kita bertemu dengan Guru Sejati kita adalah dengan laku prihatin, yakni selalu mengolah rahsa, mesu budi, maladihening, mengolah batin dengan cara bermati-raga, membersihkan hati dari hawa nafsu, menjauhi sebanyak mungkin hal-hal yang bersifat menyenangkan raga (fisik), membelenggu kegembiraan euforia fisik. Sebab orang yang dapat bertemu langsung dengan Guru Sejati nya sendiri, hanyalah orang-orang yang terpilih dan pinilih.
Dalam diri manusia (mikrokosmos) sedulur papat sebagai perlambang empat unsur badan manusia yang mengiringi seseorang sejak dilahirkan di muka bumi. Sebelum bayi lahir akan didahului oleh keluarnya air ketuban atau air kawah. Setelah bayi keluar dari rahim ibu, akan segera disusul oleh plasenta atau ari-ari. Sewaktu bayi lahir juga disertai keluarnya darah dan daging. Maka sedulur papat terdiri dari unsur kawah sebagai kakak, ari-ari sebagai adik, dan darah-daging sebagai dulur kembarnya. Jika ke-empat unsur disatukan maka jadilah jasad, yang kemudian dihidupkan oleh roh sebagai unsur kelima yakni pancer. Konsepsi tersebut kemudian dihubungkan dengan hakekat doa; dalam pandangan Jawa doa merupakan niat atau kebulatan tekad yang harus melibatkan unsur semua unsur raga dan jiwa secara kompak.
Maka untuk mengawali suatu pekerjaan disebut dibutuhkan sikap amateg aji (niat ingsun) atau artikulasi kemantaban niat dalam mengawali segala sesuatu kegiatan/rencana/usaha). Itulah alasan mengapa dalam tradisi Jawa, plasenta dan ari-ari tidak diperlakukan sembarangan seperti membuang sampah, melainkan dirawat, dimakamkan secara layak, diberi harum-haruman, didoakan, tempat makamnya sampai diberi cahaya, sampai si jabangbayi putus pusar. Ritual Jawa yang berhubungan dengan ‘sedulur papat-lima pancer adalah doa"kakang kawah adi ari-ari, kadhangku kang lahir nunggal sedino lan kadhangku kang lahir nunggal sewengi, sedulurku papat kiblat, kelimo pancer…ewang-ewangono aku..saperlu ono gawe" (kakak kandung kawah, adik kandung ari-ari yang lahir di hari dan malam yang sama, saudara kandung keempat kiblat, ke lima pusat, bantu aku dalam kesulitanku ini.) Karena saudara kandung itu semua memang merupakan "perwalian"Yang Maha kuasa sendiri, itulah karenanya dimintai pertolongan.
Kita mendayagunakan Guru Sejati kita dengan cara selalu menjaga kewaspadaan dan jangan sampai tunduk oleh hawa nafsu. Dengan menyatukan kekuatan mikrokosmos dengan kekuatan makrokosmos yakni papat keblat (keempat keblat) alam semesta yang berupa energi alam dari empat arah mata angin (atau dalam Tao : air, api, angin, tanah), lantas melebur ke dalam kekuatan pancer (pusat) yang bersifat transenden (Tuhan Yang Mahakuasa). Setiap orang bisa bertemu Guru Sejatinya, dengan syarat kita dapat menguasai hawa nafsu negatif; nafsu aluwamah (nafsu serakah; makan, minum, kebutuhan ragawi), amarah (nafsu angkara murka), supiyah (mengejar kenikmatan duniawi) dan mengapai nafsu positif dalam sukma sejati (al mutmainah).
Sehingga jasad dan nafs/hawa nafsu lah yang harus mengikuti kehendak sukma sejati untuk menyamakan frekuensinya dengan gelombang Yang Maha Suci. Dalam Buddha, dunia yang masih dikuasai oleh nafsu-nafsu (aluamah, amarah, supiyah) adalah dunia ‘kammadhatu’, sedangkan pencapaian sukma sejati adalah ‘arupadhatu’. Di antara kammadhatu dan arupadhatu, manusia menempuh satu jenjang ‘intermediate’ yakni : rupadhattu sebelum mencapai arrupadhatu (pencapaian sukma tertinggi) ketika manusia telah menemukan frekwensi gelombang Illahi, dan ‘menyamakan orbitnya’. Bukan berarti manusia menjadi serupa Illahi, melainkan manusia menjadi selaras dan harmony.
Tradisi Jawa mengajarkan tatacara membangun sukma sejati dengan cara "manunggaling kawula Gusti" atau penyatuan/penyamaan sifat hakikat makhluk dengan Sang Pencipta (wahdatul wujud). Sebagaimana makna warangka manjing curiga; manusia masuk kedalam diri “Tuhan”, ibarat Arya Sena masuk kedalam tubuh Dewaruci. Atau sebaliknya, Tuhan menitis ke dalam diri manusia; curigo manjing warongko, laksana Dewa Wishnu menitis ke dalam diri Prabu Kreshna. Atau dalam ajaran Kristen : ‘Aku di dalam BapaKu, dan BapaKu di dalam Aku’.
Indikasi keberhasilan mengolah Guru Sejati tercapai, apabila kita sudah benar-benar "lepas"dari basyor atau raga/tubuh. Yakni jiwa yang telah merdeka dari penjajahan jasad. Namun sama sekali bukan berarti kita harus meninggalkan segala kegiatan dan aktivitas kehidupan duniawi, itu salah besar !! Sebaliknya, kehidupan duniawi menjadi modal atau bekal utama meraih kemuliaan baik di dunia maupun kelak setelah ajal tiba. Maka seluruh kegiatan dan aktivitas kehidupan duniawi sudah tidak dicemari oleh hawa nafsu. Kebaikan yang dilakukan tidak didasari “pamrih”, atau kebaikan yang dilakukan semata-mata demi kebaikan itu sendiri, agar semesta yang (memang sudah)baik tetaplah menjadi baik.
Maka tidak aneh apabila di masa silam nenek moyang kita, para leluhur bumi nusantara yang memperoleh kawaskitan, kemudian menuangkannya dalam berbagai karya sastra kuno berupa; suluk, serat, dan jangka atau ramalan (prediksi). Jangka atau prediksi diterima oleh budaya Jawa sebagai anugerah besar dari Tuhan, terkadang dianggap sebagai peringatan Tuhan, agar supaya manusia dapat mengkoreksi diri, hati-hati, selalu eling-waspadha dan melakukan langkah antisipasi. Konsep tentang guru sejati sebagaimana ajaran Jawa, dapat ditelusuri melalui konsep sedulur papat lima pancer, dalam konsep pewayangan yang makna dan hakikatnya dapat dipelajari sebagaimana tokoh dalam Pendawa Lima (dalam tulisan Pusaka Kalimasadha)
Setelah Islam masuk ke Nusantara, ajaran Kejawen mendapat anasir Arab dan terjadi sinkretisme, sedulur papat keblat kemudian diartikan pula sebagai empat macam nafsu manusia yakni nafsu aluwamah (biologis), amarah (angkara murka), supiyah (kenikmatan/birahi/psikologis), dan mutmainah (kemurnian dan kejujuran). Sedangkan ke lima yakni pancer diwujudkan dalam dimensi nafsu mulhimah (sebagai pengendali utama atau tali suh atas keempat nafsu sebelumnya. Konvergensi antara Kejawen dengan tradisi Arab disusunlah klasifikasi sifat-sifat nafsu jasadiah di atas dengan diaplikasikan ke dalam lambang aslinya yakni tokoh wayang; 1. Aluwamah = Dosomuko, 2. Amarah = Kumbokarno, 3. Supiyah = Sarpo Kenoko, dan 4. Mutma’inah.
No comments:
Post a Comment