Imam Ahmad bin Hambal dikenal termasuk ulama yang sensitif terhadap hal-hal yang berbau bid’ah. Di zamannya, ada seorang ulama Sufi yang sangat kesohor, yaitu Imam al-Harits al-Muhasibi. Diantara keduanya dikenal terdapat perselisihan. Namun bukan itu yang akan kita tulis di sini. Akan tetapi kita akan coba melihat betapa Imam Ahmad meskipun memiliki perbedaan dengan ulama lain, namun beliau tidak dapat mengingkari kebenaran yang ada pada ulama tersebut.
Imam al-Khatib al-Bagdadi dalam tariknya, dan Imam Ibnul Jauzi dalam Manaqib Imam Ahmad dan Shaid al-Khatir, meriwayatkan dengan sanad sahih, dari Ismail bin Ishak al-Sarraj, dia berkata, “Suatu hari Ahmad bin Hanbal pernah berkata kepadaku: “Aku mendengar kabar bahwa al-Harits al-Muhasibi memiliki jamaah membludak. Apakah bisa kamu mengundangnya ke rumahmu dan menyediakan untukku tempat duduk sekiranya ia tidak dapat melihat keberadaanku, sehingga aku bisa mendengarkan ceramahnya?”
Aku menjawab: “Baik wahai Abu Abdillah, akan saya laksanakan.” Sungguh permintaan Abu Abdillah (Imam Ahmad) ini membuatku senang. Kemudian aku pergi menemui al-Harits al-Muhasibi dan memintanya untuk datang ke rumahku pada malam itu juga. Aku memintanya agar mengajak jamaahnya juga. Ia berkata: “Wahai Ismail, jamaahku sangat banyak. Jangan terlalu repot menyediakan jamuan, cukup air minum dan kurma saja.” Lantas aku pun menyediakan sesuai permintaannya.
Setelah itu, aku menemui Abu Abdillah dan mengabarkan mengenai hal itu. Ia pun datang ke rumahku ba’da Magrib. Lantas ia masuk ke kamar bahagian atas di rumahku dengan terus membaca wiridnya hingga selesai. Kemudian datanglah al-Harits al-Muhasibi. Mereka langsung makan, lantas menunaikan shalat Isya’ tanpa langsung menunaikan shalat sunnah ba’diyah. Mereka duduk di hadapan al-Harits dengan sangat khusyuk, tak terdengar satu pun yang berbicara hingga pertengahan malam. Lantas ada seorang jamaah yang bertanya tentang suatu permasalahan. Al-Harits pun akhirnya menjawabnya dengan panjang lebar, sedangkan jamaahnya diam khusyuk seakan-akan kepala mereka dihinggapi burung. Diantara mereka ada yang menangis dan ada yang pingsan saat al-Harits tengah menjelaskan permasalahan yang ditanyakan.
Kemudian aku naik ke kamar atas untuk melihat keadaan Abu Abdillah, ternyata ia juga menangis tersedu dan diam tertegun. Lantas aku pun kembali ke majelis dan mereka tetap dalam kondisi yang sangat khusyuk itu hingga waktu Subuh pun tiba. Kemudian mereka menunaikan shalat Subuh, lantas pulang ke rumah masing-masing. Aku naik dan menemui Abu Abdillah, dan keadaannya sudah berubah. Aku bertanya kepadanya: “Bagaimana menurut Anda wahai Abu Abdillah?”. Dengan penuh kekaguman ia menjawab: “Aku tidak pernah melihat kumpulan orang-orang seperti ini sebelumnya. Dan aku tidak pernah mendengar ilmu hakikat seperti yang telah disampaikan oleh lelaki ini. Berdasarkan apa yang saya dengar dan lihat kondisi mereka, maka sebaiknya kamu tidak berteman dengan mereka.” Kemudian ia berdiri dan keluar rumah.” (Tarikh Bagdad 8/214, Manaqib Imam Ahmad, hlm: 185).
Terkait pernyataan Imam Ahmad agar tidak berteman dengan al-Harits al-Muhasibi dan jamaahnnya, Imam Tajuddin al-Subki dalam Thabaqât al-Syafiiyyah dan Imam al-Hafidz Ibnu Hajar dalam Tahdzib al-Tahdzib, menjelaskan bahwa Imam Ahmad melarang untuk berteman dengan mereka lantaran beliau mengetahui akan maqâm (kedudukan/kondisi) mereka yang sangat sempit dan tidak dapat dilalui oleh sembarang orang. Dan beliau tahu orang yang berjalan di dalamnya tidak akan benar-benar mampu memberikan haknya. (disarikan dari kitab Risâlah al-Mustarsyidîn, tahkik dan komentar Abdul Fattah Abu Ghuddah).
No comments:
Post a Comment