Syekh Abdul Qadir Al-Jailani mengatakan: “Seorang yang Arif itu tidak dikabulkan setiap kali dia meminta (berdoa) kepada Tuhannya. Tidak dikabulkannya itu agar sang arif tersebut tidak dikalahkan oleh sifat pengharapan, yang dapat menyebabkan dia menjadi binasa karenanya. Sesungguhnya, tak ada satu pun derajat atau maqam yang tidak terdapat sifat takut (khauf) dan berharap (raja’) di dalamnya.
Kedua sifat tersebut seperti dua sayap burung, dan keimanan belum dianggap sempurna jika tanpa kedua sifat tersebut. Begitu pula maqam-maqam (dalam tasawuf). Namun, sikap khauf dan raja’ itu sesuai dengan situasi dan keadaan.
Seorang yang Arif itu adalah orang yang diberi kedekatan (oleh Allah) dan dia berusaha untuk mendekat. Adapun keadaan dan tingkatannya adalah dia tidak menginginkan sesuatu pun selain Allah SWT; tidak bersandar kepada selain-Nya dan tidak merasa tenang kepada selain Allah. Serta tidak mau bersenang-senang dengan selain-Nya. Dia hanya mencari terkabulkannya permintaan dan terpenuhinya janji selain yang dia alami dan yang sesuai dengan dirinya.
Maka, dalam keadaan tersebut, terdapat dua hal; Pertama, agar dia tidak dikalahkan oleh sifat berharap dalam dirinya dan tertipu dengan daya upaya Allah yang dapat menyebabkan dia binasa; Kedua, agar hamba tersebut tidak menyekutukan Tuhannya Azza wa Jalla dengan sesuatu pun selain-Nya. Karena, tidak seorang pun ma’sum di dunia ini, selain para Nabi, khususnya Nabi Muhammad SAW.
Jadi, Allah SWT tidak mengabulkan atau tidak menepati (permohonannya) agar dia tidak meminta seperti biasanya dan menginginkan sesuatu yang biasa terjadi, dan bukan pula karena sekadar mengikuti perintah-Nya. Sebab, dalam keadaan ini terdapat unsur syirik. Dan, syirik adalah dosa besar dalam semua keadaan, dalam semua rahasia maqam, dan dalam seluruh ajaran (para nabi) terdahulu.
Adapun, jika permohonan tersebut merupakan suatu perintah, maka hal tersebut adalah sesuatu yang dapat menambah kedekatan kepadanya, misalnya shalat, puasa dan selainnya dalam ibadah fardhu ataupun sunnah. Karena, pada keadaan ini, seorang hamba sebenarnya adalah seorang yang sedang mengikuti perintah-Nya (bukan mengikuti nafsunya).” (Syekh Abdul Qadir Al-Jailani dalam kitab Futuhul-Ghaib).
No comments:
Post a Comment