Saturday, April 9, 2016

KISAH IMAM ABU YAZID

Imam Abu Yazid Thaifur ibnu ‘Isa ibnu Surusyan al-Bisthami, lahir di Bistham di timur laut Parsi, di sana pula ia wafat pada tahun 261 H/874 M atau 264/877 M, dan hingga kini makamnya masih ada disana. Beliau adalah pelopor aliran ekstatik (“mabuk dengan Allah”) kesufian. Ayahnya adalah salah seorang yang terpandang di kota Bistham. Riwayat kehidupan Abu Yazid yang luar biasa dimulai sejak ia masih berada dalam kandungan ibunya. Ibunya berkata padanya, “Setiap kali ibu memasukkan makanan yang syubhat ke mulut ibu, engkau meronta ronta dalam kandungan dan tak mahu diam sampai ibu mengeluarkan makanan itu dari mulut ibu”. Pernyataan ini dibenarkan oleh Abu Yazid sendiri. lbunya menyekolahkannya. Di sekolah, Abu yazid mempelajari Al-Quran. Suatu hari, gurunya menjelaskan makna salah satu ayat di surah Luqman: “Bersyukurlah kepada Ku dan kepada kedua orang tuamu.” Ayat ini menggetarkan hati Abu Yazid. “Guru,” katanya seraya meletakkan buku catatannya, “izinkanlah aku untuk pulang dan mengatakan sesuatu kepada ibuku.”

Gurunya mengizinkannya, dan Abu Yazid pun bergegas pulang. “Ada apa, Thaifur,” pekik ibunya, “mengapa engkau pulang? Apa mereka memberimu hadiah, atau ada acara khusus”. “Tidak,” Jawab Abu Yazid. “Pelajaranku telah sampai kepada ayat di mana Allah memerintahkan aku untuk mengabdi kepada Nya dan berkhidmat kepada Ibu. Aku tidak akan sanggup melaksanakan keduanya sekaligus. Ayat ini menggetarkan hatiku. Hanya ada dua pilihan: lbu memintaku dari Allah agar aku dapat menjadi milik lbu sepenuhnya, atau lbu menyerahkanku kepada Allah agar aku dapat sepenuhnya bersamaNya ”

Suatu malam, ibuku memintaku untuk mengambilkannya air minum. Aku bergegas mengambilkan air minum untuknya, namun tak ada air di teko. Aku pun mengambil gelas, namun gelas ini juga kosong. maka aku pun pergi ke sungai dan mengisi gelas dengan air. Ketika aku kembali ke rumah, ibuku telah tertidur. Malam itu udara begitu dingin. Aku memegang teko dengan tanganku. Ketika ibuku terbangun, ia pun minum dan mendoakanku. Lalu ia melihat bahwa teko itu membuat tanganku membeku kedinginan. ‘Mengapa tak engkau letakkan saja teko itu?’ tanya ibuku. “Aku takut tatkala lbu terbangun, aku tidak ada di sisi Ibu,’ jawabku. Setelah ibunya menyerahkannya kepada Allah, Abu Yazid meninggalkan Bistham dan selama tiga puluh tahun berkelana dari satu daerah ke daerah lain, mendisiplinkan dirinya dengan ibadah dan rasa lapar yang sinambung. Ia mendatangi 113 pembimbing kerohanian dan mengambil manfaat dari mereka semua.

Di antara mereka ada yang dijuluki Ash-Shadiq. Abu Yazid sedang duduk ketika gurunya itu tiba-tiba berkata, “Abu Yazid, ambilkan aku buku dari jendela itu”. “Jendela? jendela yang mana?” tanya Abu Yazid. Gurunya balik bertanya, “Selama ini engkau selalu datang ke sini, dan engkau tidak pernah melihat jendela itu?” “Tidak pernah,” jawab Abu Yazid. “Apa urusanku dengan jendela? Ketika aku berada dihadapanmu, aku menutup mataku dari hal hal lain. Aku datang kepadamu bukan untuk melihat lihat”. “Kalau begitu,” kata sang guru, “pulanglah ke Bistham. Usaha pengajianmu telah sempurna.”

Abu Yazid diberi tahu bahwa di suatu tempat tinggallah seorang guru besar. Abu Yazid jauh-jauh datang untuk menemuinya. Ketika ia mendekat, dia melihat sang guru kondang itu meludah ke atas kiblat. Abu Yazid seketika itu pula bergegas kembali pulang. Beliau berujar, “Jika dia memiliki ilmu yang benar walau sedikit saja, sudah tentu dia tidak akan pernah melecehkan-Nya.” Dalam kaitannya dengan hal ini, dikatakan bahwa rumah Abu Yazid terletak sekitar empat puluh langkah dari sebuah masjid, dan dia tidak pernah sekali pun meludah di jalan demi menghormati masjid itu. Oleh: Imam Fariduddin ‘Aththar (Via: Ustaz Iqbal Zain AlJauhari).

No comments:

Post a Comment