Wednesday, May 18, 2016

FANA DALAM KESATUAN AL-HARAWI AL-ANSHARI

Al Harawi al Anshari, yang nama lengkapnya, Abu Isma’il Abdullah bin Muhammad al-Anshari, yang lahir di Herat, Khurasan. Al Harawi al Anshari adalah seorang faqih Hambaliyah. Karya Al Harawi yang terkenal ialah Manazil as-Sa’irin ila Rabb al-‘Alamin. Di kitab tersebut dia berkata, “Kebanyakan ulama kelompok ini sependapat bahwa tingkatan akhir tidak dipandang benar kecuali dengan benarnya tingkatan awal, seperti halnya bangunan tidak bisa tegak kecuali didasarkan pada fondasi.

Benarnya tingkatan awal adalah dengan menegakkannya di atas keikhlasan serta keikutan terhadap as-Sunnah.” Manazil Sa’irin, mendapatkan syarah dan komentar dan Ibnu Qoyyim (wafat pada 751H) dalam  kitab Manarij Salikin. Serta dari al-Lakhmi (wafat 650 H) dan juga dari al-Farkawi (wafat pada 795 H).

Al Harawi al Anshari tentang Fana: Menurut al Harawi, Fana’ terdiri dari 3 tingkatan, “Kefanaan adalah luluhnya apa yang selain Yang Maha Benar, baik karena pengetahuan, penolakan, ataupun karena benar-benar luluh.”

Yang pertama ialah luluh dan tercerai berainya pengenalan terhadap Allah, sehingga seorang sufi yang mengalaminya sirna dalam Yang Diketahuinya dari pengenalan terhadap Dia.

Yang kedua, Penolakan terhadap hal yang normal sewaktu dalam keadaan fana’, hal ini bukanlah pengingkaran yang hakiki.

Yang ketiga ialah keluluhan yang hakiki. 

Al Harawi al Anshari mengungkapkan tentang tingkatan ketentraman yang timbul dari ridho Allah, “Peringkat ketiga adalah ketentraman, yang timbul dari perasaan ridho atas bagian yang diterimanya. Ketenteraman tersebut bisa mencegah ucapan buruk dan mencegah orang yang mencapainya tegak pada batas tingkatannya. Karena ketenteraman itu, menurut al Harawi, “tidak diturunkan kecuali pada kalbu seorang nabi atau wali.“

Al Harawi al Anshari adalah seorang penyusun teori kefanaan dalam kesatuan, yang mirip teori al-Junaid. Pada hakikatnya, kefanaan menurut konsepnya adalah ketidaksadaran seorang sufi (yang telah mencapai tingkatan tertentu) atas segala sesuatu selain Yang Disaksikan. bahkan juga ketidak sadarannya terhadap penyaksiannya serta dirinya sendiri. Keadaan yang demikian disebut sakr, istihlam, ataupun mihwar. Hal ini berbeda dengan kefanaan menurut para penganut panteisme (wahdah al-wujud), yakni, pada dasarnya tidak ada sesuatu yang tersaksikan, bahkan yang tersaksikan dalam wujud hamba itu hanyalah Wujud Tuhan. Al-Harawi juga mengemukakan bahwa tingkatan ketenteraman yang timbul dari ridha Allah adalah sebagai pencegah keganjilan ungkapan-ungkapannya. Al Harawi al Anshari mengkritik Abu Yazid al-Busthomi dan al-Halaj dalam kitabnya Manazil al-Sa’irin.

No comments:

Post a Comment