Wednesday, May 18, 2016

KISAH ABU YAZID AL-BUSTHAMI, KITAB TAZKIROTUL AULIYA

Kakek Abu Yazid al-Busthami adalah seorang penganut agama Zoroaster. Ayahnya adalah seorang di antara orang-orang terkemuka Bustham. Kehidupan Abu Yazid yang luar biasa bermula sejak ia berada di dalam kandungan ibunya. “Setiap kali aku menyuap makanan yang kuragukan kehalalannya,” ibunya sering berkata kepada Abu Yazid. “Engkau yang masih beraa di dalam rahimku memberontak dan tidak mau berhenti sebelum makanan itu ku muntahkan kembali.” Pernyataan si ibu dibenarkan oleh Abu Yazid sendiri. Kepada Abu Yazid pernah ditanyakan, “Apakah yang terbaik bagi seorang manusia di atas jalan ini.” “Kebahagiaan yang merupakan bakat sejak lahir,” jawab Abu Yazid. “Jika kebahagiaan seperti itu tidak ada?” “Sebuah tubuh yang sehat dan kuat.” “Jika tidak memiliki tubuh yang sehat dan kuat?” “Pendengaran yang tajam.” “Jika tidak memiliki pendengaran yang tajam?” “Hati yg mengetahui.” “Jika tidak memiliki hati yg mengetahui?” “Mata yang melihat.” “Jika tidak memiliki mata yang melihat?” “Kematian yg segera.”

Setelah sampai waktunya, si ibu mengirimkan Abu Yazid ke sekolah. Abu Yazid mempelajari al-Qur’an. Pada suatu hari gurunya menerangkan arti satu ayat dari surah Lukman yg berbunyi: “Berterimakasihlah kepada-Ku dan kepada kedua orang tuamu,” Ayat ini sangat menggetarkan hati Abu Yazid. Abu Yazid meletakkan batu tulisnya dan berkata kepada gurunya: “Izinkan aku pulang! Ada yang hendak kukatakan kepada ibuku.” Sang guru memberi ijin, Abu Yazid lalu pulang ke rumahnya. Ibunya menyambutnya dengan kata-kata: “Thaifur, mengapa engkau sudah pulang? Apakah engkau mendapat hadiah atau adakah suatu kejadian yang istimewa?” “Tidak”, jawab Abu Yazid. “Pelajaranku sampai pada ayat di mana Allah memerintahkan agar aku berbakti kepada-Nya dan kepadamu. Tetapi aku tak dapat mengurus dua buah rumah dalam waktu bersamaan. Ayat ini sangat menyusahkan hatiku. Mintalah diriku ini kepada Allah sehingga aku menjadi milikmu seorang atau serahkanlah aku kepada Allah semata sehingga aku dapat hidup untuk Dia semata-mata.” “Anakku”, jawab ibunya. “aku serahkan engkau kepada Allah dan kubebaskan engkau dari semua kewajiban terhadapku. Pergilah engkau dan jadilah sorang hamba Allah.”

Di kemudian hari Abu Yazid berkata: “Kewajiban yang kukira sebagai kewajiban yang paling sepele di antara yang lain-lainnya, ternyata merupakan kewajiban yang paling utama. Yaitu kewajiban untuk berbakti kepada ibuku. Di dalam berbakti kepada ibuku itulah kuperoleh segala sesuatu yang kucari, yakni segala sesuatu yang hanya bisa dipahami lewat tindakan disiplin diri dan pengabdian kepada Allah. Kejadiannya adalah sebagai berikut: Pada suatu malam, ibu meminta air kepadaku. Maka aku pun pergi mengambilnya, ternyata di dalam tempayan kami tak ada air. Kulihat dalam kendi, tetapi kendi itu pun kosong. Oleh karena itu pergilah aku ke sungai lalu mengisi kendi tersebut dengan air. Ketika aku pulang, ternyata ibuku sudah tertidur.”

“Malam itu udara terasa dingin. Kendi itu tetap dalam rangkulanku. Ketika ibu terjaga, ia meminum air yang kubawa itu kemudian memberkati diriku. Kemudian terlihatelah olehku betapa kendi itu telah membuat tanganku kaku. “Mengapa engkau tetap memegang kendi itu?”, ibu bertanya, “Aku takut ibu terjaga sedang aku sendiri terlena”, jawabku. Kemudian ibu berkata kepadaku : “Biarkan saja pintu itu setengah terbuka.” “Sepanjang malam aku berjaga-jaga agar pintu itu tetap dalam keadaan setengah terbuka dan agar aku tidak melalaikan perintah ibuku. Hingga akhirnya fajar terlihat lewat pintu, begitulah yang sering kulakukan berkali-kali.”

Setelah si ibu memasrahkan anaknya kepada Allah, Abu Yazid meninggalkan Bustham, merantau dari satu negeri ke negeri lain selama tiga puluh tahun, dan melakukan disiplin diri dengan terus menerus berpuasa di siang hari dan bertirakat sepanjang malam. Ia belajar di bawah bimbingan seratus tiga belas guru spiritual dan telah memperoleh manfaat dari setiap pelajaran yang mereka berikan. Di antara guru-gurunya itu ada seorang yang bernama Shadiq. Ketika Abu Yazid sedang duduk di hadapannya, tiba-tiba Shadiq berkata kepadanya. “Abu Yazid, ambilkan buku yang di jendela itu.” “Jendela? Jendela mana?” tanya Abu Yazid. “Telah sekian lama engkau belajar di sini dan tidak pernah melihat jendela itu?” “Tidak”, jawab Abu Yazid, “apakah peduliku dengan jendela. Ketika menghadapmu, mataku tertutup terhadap hal-hal lain. Aku tidak datang ke sini untuk melihat segala sesuatu yang ada di sini.” “Jika demikian,” kata si guru, “kembalilah ke Bustham. Pelajaranmu telah selesai.”

Abu Yazid mendengar bahwa di suatu tempat tertentu ada seorang guru besar. Dari jauh Abu Yazid datang untuk menemuinya. Ketika sudah dekat, Abu Yazid menyaksikan betapa guru yang termasyhur itu meludah ke arah kota Mekkah, karena itu segera ia memutar langkahnya. “Jika ia memang telah memperoleh semua kemajuan itu dari jalan Allah,” Abu Yazid berkata mengenai guru tadi. “Niscaya ia tidak akan melanggar hukum seperti yang telah dilakukannya.” Diriwayatkan bahwa rumah Abu Yazid hanya berjarak empat puluh langkah dari sebuah masjid, ia tidak pernah meludah ke arah jalan dan menghormati masjid tersebut.

Perjalanan Abu Yazid menuju Ka’bah memakan waktu dua belas tahun penuh. Hal ini karena setiap kali ia bersua dengan seorang pengkhotbah yang memberikan pengajaran di dalam perjalanan itu. Abu Yazid segera membentangkan sajadahnya dan melakukan Solat sunnat dua raka’at. Mengenai hal ini Abu Yazid mengatakan “Ka’bah, bukanlah seperti serambi istana raja, tetapi suatu tempat yang dapat dikunjungi orang setiap saat.” Akhirnya sampailah ia ke Ka’bah tetapi ia tak pergi ke Madinah pada tahun itu juga. “Tidaklah pantas perkunjungan ke Madinah hanya sebab pelengkap saja,” Abu Yazid menjelaskan. “Saya akan mengenakan pakaian haji yang berbeda untuk mengunjungi Madinah.”

Tahun berikutnya, sekali lagi ia menunaikan ibadah haji. Ia mengenakan pakain yang berbeda untuk setiap tahap perjalanannya sejak mulai menempuh padang pasir. Di sebuah kota dalam perjalanan tersebut, suatu rombongan besar telah menjadi muridanya dan ketika ia meninggalkan tanah suci, banyak orang yang mengikutinya. “Siapakah orang-orang ini?” ia bertanya sambil melihat ke belakang. “Mereka ingin berjalan bersamamu,” terdengar sebuah jawaban. “Ya Allah!.” Abu Yazid bermohon, “Janganlah Engkau tutup penglihatan hamba-hamba-Mu karenaku.”

Untuk menghilangkan kecintaan mereka kepada dirinya dan agar dirinya tidak menjadi penghalang bagi mereka, maka setelah selesai melakukan Solat Shubuh, Abu Yazid berseru kepada mereka : “Sesungguhnya Aku adalah Tuhan, tiada Tuhan selain Aku dan karena itu sembahlah Aku.”: Abu Yazid sudah gila!.” Seru mereka kemudian meninggalkannya. Abu Yazid meneruskan perjalanannya. Di tengah perjalanan ia menemukan sebuah tengkorak manusia yang bertuliskan: Tuli, bisu, buta……. mereka tidak memahami. Sambil menangis Abu Yazid memungut tengkorak itu lalu menciuminya. “Tampaknya ini adalah kepala seorang sufi.” gumamnya. “yang menjadi lebur di dalam Allah…. ia tidak lagi mempunyai telinga untuk mendengar suara abadi, tidak lagi mempunyai mata untuk memandang keindahan abadi, tidak lagi mempunyai lidah untuk memuji kebesaran Allah, dan tidak lagi mempunyai akal walaupun untuk merenungi secuil pengetahuan Allah yang sejati. Tulisan ini adalah mengenai dirinya.”

Suatu hari Abu Yazid melakukan perjalanan. Ia membawa seekor unta sebagai tungggangan dan pemikul perbekalannya. “Binatang yang malang, betapa berat beban yang engkau tanggung. Sungguh kejam!.” Seseorang berseru. Setelah mendengar suara ini berulang kali, akhirnya Abu Yazid menjawab. “Wahai anak muda, sebenarnya bukan unta ini yang memikul beban.” Kemudian si pemuda meneliti apakah beban itu benar2 berada di atas punggung unta tersebut, barulah ia percaya setelah melihat beban itu mengambang satu jengkal di atas punggung unta dan binatang itu sedikitpun tidak memikul beban tersebut. “Maha Besar Allah, benar2 menakjubkan!”, seru si pemuda. “Jika ku sembunyikan kenyataan2 yang sebenarnya mengenai diriku, engkau akan melontarkan celaan kepadaku,” kata Abu Yazid kepadanya. “Tetapi jika kujelaskan kenyataan2 itu kepadamu, engkau tidak dapat memahaminya. Bagaimana seharusnya sikapku kepadamu?!”

Setelah Abu Yazid mengunjungi kota Madinah, datang sebuah perintah yang menyuruhnya pulang untuk merawat ibunya. Ditemani serombongan oarang, ia pun berangkat menuju Bustham. Berita kedatangan Abu Yazid tersebar di kota Bustham dan para penduduk kota datang untuk menyongsongnya. Pasti Abu Yazid akan sibuk melayani mereka dan membuat ia akan terhalang untuk menyegerakan perintah Allah itu. Oleh karena itu ketika penduduk kota telah hampu sampai, dari lengan bajunya ia mengeluarkan sepotong roti, sedang saat itu adalah Bulan Ramadhan, tetapi dengan tenang Abu Yazid memakan roti tersebut. Begitu penduduk Bustham menyaksikan perbuatan Abu Yazid, mereka lalu berpaling darinya. “Tidakkah kalian saksikan,” kata Abu Yazid kepada sahabat2nya. “betapa aku mematuhi sebuah perintah dari hukum suci, tapi semua orang berpaling dariku.”

Dengan sabar Abu Yazid menunggu samapai malam tiba. Tengah malam barulah ia memasuki kota Bustham. Ketika sampai di depan rumah ibunya, utk beberapa lama ia berdiri mendengarkan ibunya yang sedang bersuci lalu Solat. “Ya Allah, periharalah dia yang terbuang.” Terdengar doa ibunya, "cenderungkanlah hati para syeikh kepada dirinya dan berikanlah petunjuk kepadanya untuk melakukan hal-hal yang baik.” Mendengar doa ibunya itu Abu Yazid menangis. Kemudian ia mengetuk pintu. “Siapakah itu?” tanya ibunya dari dalam. “Anakmu yang terbuang,” sahut Abu Yazid. Dengan menangis si ibu membukakan pintu. Ternyata penglihatan ibunya sudah kabur. “Thaifur,” si ibu berkata kepada puteranya. “Tahukah engkau mengapa mataku menjadi kabur seperti ini?” Karena aku telah sedemikian banyaknya meneteskan air mata sejak berpisah denganmu. Dan punggungku telah bongkok karena beban duka yang kutanggungkan itu”. (Kitab Tadzkirotul Auliya).

No comments:

Post a Comment