Abdul Qodir jailani Syaikh Muhammad bin Qaid al-Awani meriwayatkan : Pada suatu hari beliau bertanya kepada sang syaikh, “Apa yang membuatmu dapat meraih derajad ini?” Beliau menjawab, “Kejujuran, tidak pernah sekalipun aku berbohong bahkan ketika aku masih menuntut ilmu”. Syeh Abdul Qodir jailaniKemudian syaikh Abdul Qodir melanjutkan, “Ketika tiba hari arafah saat aku keil, aku pergi kesekitar baghdad dan menggembala sapi.
Tiba tiba sapi tadi menolehkan kepalanya kepadaku dan berkata, “Abdul Qodir! Bukan untuk ini engkau diciptakan”. Masih dalam keadaan terkejut aku pulang ke rumah dan naik ke atas atap. Disana aku melihat orang2 sedang melaksanakan wukuf di Arafah. Aku turun dan berkata kepada ibuku, “Ibu, serahkan diriku kepada ALLAH dan izinkan aku pergi ke baghdad menuntut ilmu”.
Tiba tiba sapi tadi menolehkan kepalanya kepadaku dan berkata, “Abdul Qodir! Bukan untuk ini engkau diciptakan”. Masih dalam keadaan terkejut aku pulang ke rumah dan naik ke atas atap. Disana aku melihat orang2 sedang melaksanakan wukuf di Arafah. Aku turun dan berkata kepada ibuku, “Ibu, serahkan diriku kepada ALLAH dan izinkan aku pergi ke baghdad menuntut ilmu”.
Ketika beliau menanyakan apa yang menyebabkan aku mengajukan permintaan tsb, aku pun menceritakan kisah diatas dan beliau menangis. Kemudian beliau mengambil 80 dinar uang peninggalan ayahku dan memberikannya kepadaku. Aku tinggalkan 40 dinar untuk adikku dan ibu menjahitkan uang tersebut dibalik bajuku. Beliau memintaku untuk berjanji akan selalu jujur dalam kondisi apapun. Aku menyanggupi hal tsb. Ketika akan melepasku pergi, beliau berkata kepadaku, “Pergilah, aku serahkan engkau kepada ALLAH. Wajah ini tidak akan aku lihat lagi sampai hari kiamat”.
Aku pun pergi ke baghdad mengikuti sebuah khafilah kecil. Namun setibanya kami di rabik, daerah selatan hamdzaan, muncul 60 orang perampok yang merampok khafilah tsb tanpa memedulikan diriku. Salah seorang perampok tsb berkata kepadaku, “Hai orang miskin, apa yang engkau miliki?”. “40 dinar” jawabku. “Dimana uang tersebut” tanyanya kembali. “Dijahitkan dalam bajuku dibawah ketiak” jawabku. Mengira aku bercanda, perampok tsb pergi dan tidak memedulikan aku. Kemudian datang perampok lainnya dan menanyakan pertanyaan yang sama. Aku pun menjawabnya dg jawaban yang sama. Kali ini perampok tsb melaporkan apa yang dia dengar kepada ketuanya yang sedang membagi2 hasil rampokan disebuah bukit kecil.
Mendengar laporan tsb, kepala perampok itu berkata, “Bawa dia kemari”. Dihadapannya, kepala rampok tsb menanyakan pertanyaan yang sama dan aku kembali menjawabnya dg jawaban yang sama. Dia lalu memerintahkan anak buahnya untuk melepaskan bajuku, menyobek jahitannya dan mereka menemukan uang tsb.“Mengapa engkau melakukan ini?” tanya kepala rampok kepadaku. “Aku telah berjanji kepada ibuku untuk tidak berbohong dan aku tidak ingin mengingkari janjiku kepadanya” jawabku. Kepala perampok tsb menangis mendengar jawabanku dan berkata, “Engkau tidak mau mengkhianati janjimu kepada ibumu sedangkan aku hingga saat ini selalu mengingkari janji ALLAH”. Kepala perampok itu pun bertobat ditanganku.
Melihat hal tsb para pengikutnya berkata, “Engkau ketua kami dalam hal merampok. Sekarang engkau ketua kami dalam hal tobat”, dan mereka semua bertobat dan mengembalikan apa yang mereka ambil dari khafilah tersebut. Merekalah orang2 pertama yang bertobat ditanganku” (Mahkota Para Aulia, 2005).
No comments:
Post a Comment