Wednesday, February 18, 2015

MAULANA ZAKARIA, PERBEZAAN ULAMA

Ketahuilah, bahwa tidak pernah terdengar, tidak ada perbedaan pendapat di kalangan orang-orang yang benar-benar shaleh lagi ikhlas. Perbedaan ini akan tetap ada dan akan terus berlangsung hingga masa-masa berikutnya. Bagi orang yang berpengetahuan agama, hal ini tidak mengherankan, bahkan di kalangan alim ulama juga terdapat perbedaan pendapat.

Dalam kuliah hadits Maulana Zakariyya, dimana kalender akademiknya dimulai dari bulan Syawwal dan berakhir di bulan Rajab, selama masa sepuluh bulan perkuliahan tersebut, dapat dikatakan tidak pernah terlewat sehari pun, minimal 20 x dalam sehari—terdengar ucapan,” .. berkenaan dengan masalah ini, Imam fulan berpendapat demikian, Imam fulan lainnya berpendapat demikian..Para shahabat Nabi berpendapat demikian, sedangkan para tabi’in berpendapat demikian, dst.”

Jika kita menyangka bahwa perbedaan yang terjadi itu sebagai tanda kekurangikhlasan mereka, berarti kita sedang menghadapi suatu masalah dan kebingungan yang besar, sebab prasangka demikian berpotensi akan melahirkan suatu dugaan (na’udzubillahi min zalik) bahwa orang-orang seperti shahabat r.a. dan alim ulama di atas (yang tergolong orang-orang mukhlisin) telah tersisih dari barisan kekasih Allah, hanya disebabkan mereka berbeda pendapat.

Tulisan ini merupakan tanggapan Maulana Zakariyya rah.a sehubungan dengan terjadinya perbedaan yang amat tajam di antara 2 orang ulama yang termasyhur di India yaitu Syekh Madani dan Syekh Thanwi. Seperti diketahui, India, pada paruh tahun 1930-1950, diwarnai dengan situasi perpolitikan yang amat hangat. Menghadapi situasi yang demikian dinamis, dua orang ulama memberikan respon dan sikap yang berbeda, tentang bagaimana sebaiknya peran ummat Islam. Di satu pihak, menghendaki ummat Islam harus berjuang secara aktif dalam pemerintahan dan membentuk partai Islam tersendiri, agar bisa memberikan faedah yang maksimal bagi ummat. 

Namun, di pihak lainnya berpendapat sebaiknya ummat Islam berjuang di luar politik pemerintahan. Di mata kalangan awam, perbedaan kedua ulama terpandang ini, demikian tajam. Tetapi dalam pandangan Maulana Zakariyya, perbedaan pendapat di antara keduanya bukanlah perbedaan yang tajam. Menurutnya, situasi perpolitikan yang terjadi pada saat itulah yang menyebabkan terjadinya perbedaan tersebut.

Maulana Zakariyya mengemukakan, bahwa pada saat ini, seyogyanya orang-orang yang berakal sehat-dengan melihat situasi dan kondisi- untuk berusaha memahami keadaan tersebut sesuai dengan aturan syari’at, sehingga setiap orang/ Ummat Islam dapat memilih jalan yang diyakininya benar, tanpa paksaan orang lain. Sedangkan bagi orang yang tidak memahami seluk beluk permasalahan ini dengan benar, dianjurkan agar ia duduk beberapa hari di majelis mereka, sehingga dapat mengikuti dengan jelas, pendapat mana yang lebih cocok/ kuat untuk diikuti. “Siapapun di antara mereka yang kamu ikuti, kamu akan mendapatkan petunjuk.”

Dengan demikan, kita tidak perlu bertengkar dan berdebat mengenai hal ini. Maulana Zakariyya justru heran dan bertanya kepada muridnya (dan juga kepada kebanyakan kaum muslimin awam) yang terlalu meributkan masalah ikhtilaf atau perbedaan pendapat yang terjadi di kalangan ulama. Bukankah perbedaan itu tidak hanya terjadi di jaman sekarang saja? Bahkan sudah terjadi di jaman Nabi dan para shahabat? Kalau ada yang berpandangan bahwa perbedaan pendapat itu buruk dan kontraproduktif, maka bagaimana dengan kisah Perang Jamal, yang merupakan buntut dari perbedaan pendapat yang terjadi antara Shahabat Ali r.a. dengan Shahabiah utama sekaligus salah satu istri Nabi yang berkedudukan sebagai Ummahatul Mukminin (Ibunya orang-orang beriman), ‘Aisyah r.ha.?
Semua orang Islam hendaknya mengetahui bahwa semua shahabat Nabi, siapapun dia, adalah generasi awal ummat Islam dan mereka telah dinyatakan oleh Nabi sebagai generasi manusia yang terbaik yang pernah Allah tampilkan di atas muka bumi. Tentu tidak diragukan lagi tentang derajat keikhlasan mereka dan pengorbanan mereka yang luar biasa demi tegaknya dien ini. Jadi sungguh tidak punya etika dan sangat sembrono, jika seorang muslim memberikan komentar yang tidak berkualitas, tanpa didasari pengetahuan tentang agama yang memadai, mengenai perbedaan-perbedaan dalam masalah agama.

Maulana Zakariyya bahkan bertanya kepada santrinya,” Beritahukanlah kepada saya, manakah di antara dua golongan dalam Perang Jamal ini (Yaitu golongan Ali dan golongan Aisyah r.a), yang akan Anda sisihkan dari barisan orang-orang shaleh dan ikhlas? Dapatkah Anda melakukannya?” Ketika nama Ali disebut, kita akan mengucapkan ‘Radhiyallahu ‘anhu’ (semoga Allah meridhoinya), karena ia seorang khalifah yang benar dan penghulu segala wali Allah. Begitu pula ketika nama ‘Aisyah disebut, kita pun akan berkata ‘ Radhiyallahu ‘anha’, karena beliau adalah Ummul Mukminin (Ibu orang-orang beriman) dan istri yang paling dicintai oleh Rasulullah saw. (catatan: ketika seseorang menyebutkan nama shahabat/ shahabiah (shahabat wanita), maka setiap orang Islam hendaknya mengucapkan ‘radhiyallahu anhu (untuk shahabat laki-laki) dan atau ‘radhiyallahu ‘anha’ (bagi shahabat wanita).

Perselisihan di antara shahabat Ali r.a. dan ‘Aisyah r.ha yang sedemikian tajam bahkan berujung pada perang saudara yang dikenal dengan nama Perang Jamal, menjadikan perang ini akan senantiasa dikenang dalam sejarah ummat Islam sampai hari kiamat. Tentu saja ada hikmah yang besar dari kisah mereka, agar menjadi pelajaran bagi orang-orang beriman.

Bahkan Maulana Zakariyya rha.a memberikan peringatan yang amat tegas kepada santrinya (dan secara umum kepada kaum muslimin), agar jangan sekali kali berprasangka buruk kepada 2 orang shaleh ini (yaitu Ali r.a. dan ‘Aisyah r.ha), padahal mereka berdua adalah benteng-benteng Islam yang tangguh. Apabila ada perasaan demikian dalam hati kita dan rasa dengki dalam dada kita kepada mereka (2 orang sahabat ini), maka ini sama sekali tidak akan merugikan mereka berdua sedikitpun, namun kitalah, ummat Islam, yang akan mendapatkan kerugian dan kesulitan yang besar.

Sungguh suatu hal yang amat keterlaluan dan tidak beradab, ketika segolongan ummat Islam yang tidak berpengetahuan (bodoh dalam agama, tapi merasa pintar dan sok tahu), berani melontarkan kata-kata, komentar-komentar yang tidak patut kepada dua orang shahabat yang mulia ini. Bahkan seyogyanya mereka berdua ini patut dicemburui, karena mereka adalah orang-orang yang senantiasa sibuk dengan perjuangan menegakkan agama Islam yang mulia. 

Dan sudah sewajarnya mereka mendapatkan derajat dan pahala yang tertinggi dari Allah swt. Dan lebih dari itu, mereka pun mendapatkan limpahan pahala dari orang-orang yang mengumpat dan menghamburkan kata-kata hina kepada mereka. Seolah-olah, para penghina dan pengumpat Shahabat Nabi itu, yang menceburkan diri mereka sendiri dalam kehinaan dengan menghujat para kekasih Allah swt, berkata,” Karena saya sangat marah dengan diri Anda, maka ambillah segala pahala baik, yang telah saya usahakan selama ini”.

Jadi bukankah ini suatu kezaliman yang besar terhadap diri sendiri, dengan menghibahkan pahala amal sholeh kepada orang yang dihujatnya? Berarti orang yang menghujat dan menghina itulah yang sebenarnya orang fakir dan pendosa.

Dalam satu hadits dikatakan, bahwa suatu ketika Rasulullah saw bertanya kepada para shahabatnya, “Siapakah orang yang muflis (bangkrut) di antara kalian?” Mereka menjawab,” Orang yang tidak berharta.” Beliau menjelaskan.,” Bukan. Orang yang bangkrut adalah seorang yang datang pada hari kiamat dengan kebajikan yang banyak, namun ia telah menzalimi seseorang dan memaki yang ini dan menghina yang itu dan mengambil harta orang lain. Pada hari itu, tidak bernilai lagi dinar dan dirham. Akan diserahkan amal kebajikannya kepada orang yang telah ia zalimi. Dan jika itu semua tidak mencukupi, maka dosa-dosa orang yang dizalimi akan ditimpakan kepada orang yang menzalimi. “ (dari kitab Majma’ul Fawaid).

Pada hari itu, setiap orang hanya akan diadili amalan baik dan buruknya. Tetapi ada orang-orang, yang karena amal buruknya, menyebabkan semua amal sholehnya diserahkan kepada orang yang telah ia zalimi, sebagai balasan atas kezhalimannya. Bahkan, walaupun semua kebaikannya telah habis diserahkan, keadilan tetap harus ditegakkan, sehingga perbuatan dosa mereka yang dizalimi akan dilimpahkan ke atas orang yang menzalimi.

Sangat mengherankan dengan kelakuan orang-orang jaman sekarang yang sedemikian mudah menghina, mengkritik dan mencela orang-orang shaleh dan para kekasih Allah. Namun di sisi lain pada saat yang sama, justru mereka ini memuji-muji para ahli maksiat, orang fasiq dan orang-orang kafir. Orang-orang Islam yang bodoh (bodoh dalam perkara agama, dan malas mengaji dan mempelajari hukum-hukum agama. Tidak ada hubungan dengan latar belakang akademis. 

Meskipun seseorang bergelar insiyur, doctor S5 lulusan perguruan tinggi terkemuka di luar angkasa, tetapi tidak tahu, tidak mau tahu dan malas mempelajari hukum Allah dan sunnah-sunnah Nabi, maka orang seperti ini masuk kategori jahil atau bodoh dalam pandangan Allah swt) dan error ini, hendaklah memperhatikan hadits di ini: “Apabila seorang fasiq dipuji, maka Allah swt akan murka dan Arsy Illahi akan bergoncang.” (Kitab Misykat).

Pernyataan di atas janganlah serta merta disimpulkan bahwa kita tidak perlu memberikan pujian atau apresiasi kepada orang lain. Tetapi masalahnya adalah bergantung pada siapa yang perlu dipuji? Dalam kapasitas apa ia harus dipuji? Sejauhmana ia perlu dipuji? Yang harus ditegaskan di sini adalah, bahwa janganlah sekali-kali menghina dan mengkritik secara membabi buta dan tanpa dasar terhadap orang-orang shaleh, dalam hal ini para Shahabat, para Tabi’in, para wali Allah swt, alim ulama, pemimpin-pemimpin pemerintahan yang ikhlas dan taqwa (bukan karena strategi pencitraan) dan orang-orang Islam yang awam tetapi memiliki tekad dan kemauan keras untuk belajar dan meningkatkan kualitas iman dan ketaqwaannya dan sangat tidak perlu memuji mereka mereka yang tidak mempedulikan aturan syariat agama.

Sebuah pertanyaan,” Jika seorang shahabat Nabi, atau ulama, atau orang shaleh berbuat suatu kekhilafan atau salah memberikan pertimbangan dalam satu masalah, apakah hal itu bermakna kita harus menutup mata atas semua sifatnya yang mulia?”

Syariat Islam yang suci ini telah mengajarkan kepada kita hingga perkara sekecil apapun dalam masalah kehidupan dan agama kita. Namun, walaupun kita mengaku sebagai pemeluk Islam, nampaknya kita tetap tidak mempedulikannya. Sementara orang-orang dari agama lain, banyak yang mengadopsi ajaran Islam ini, sehingga justru kini mereka menuai kesuksesan, sedangkan kita sibuk menyingkirkan syariat ini dari kehidupan kita yang pada akhirnya kita mendapatkan kerugian yang besar.

No comments:

Post a Comment