Friday, August 5, 2016

PERBEDAAN ANTARA SALIK DAN MAJDZUB

“Dia (Allah) menunjukkan wujud namaNya melalui keberadaan makhluk-Nya. Dia menunjukkan sifat2Nya melalui keberadaan namaNya. Dia menunjukkan wujud dzat-Nya melalui keberadaan sifat2Nya. Karena, tak mungkin sifat tersebut ada dgn sendirinya. Org2 yang ditarik dan didekatkan kepadaNya (majdzub) akan diperlihatkan kepada kesempurnaan zatNya, kemudian dibawa untuk menyaksikan sifatNya, lalu digiring utk bergantung kepada namaNya, selanjutnya dikembalikan lagi utk menyaksikan makhlukNya. 

Adapun para salik, mereka mengalami keadaan (hal) sebaliknya. Akhir perjalanan para salik adalah awal perjalanan kaum majdzub. Sedangkan, awal perjalanan salik adalah akhir perjalanan kaum majdzub. Hal tersebut tidak berarti bahwa keduanya sama. Boleh jadi keduanya bertemu di jalan, yang satu sedang naik, sedangkan yang lainnya sedang turun.” (Syekh Ibnu Atha’illah dalam kitab Al-Hikam)

Syekh Abdullah Asy-Syarqawi menjelaskan bahwa Allah menunjukkan asmaNya melalui keberadaan jejak2 ciptaan2Nya yg baik dan sempurna. Semua ciptaan tidak akan terwujud, kecuali dari Zat Yang Maha Berkuasa, Yang Maha Berkehendak dan Maha Mengetahui. Dia juga menunjukkan sifat2Nya seperti qudrah (Mahakuasa), iradah (Maha Berkehendak), dan ‘ilm (Maha Mengetahui) melalui keberadaan asmaNya. 

Melalui sifat2Nya tersebut Dia menunjukkan wujud zatNya, karena tak mungkin sifat itu ada dgn sendirinya, tanpa sosok yg memiliki sifat tersebut. Inilah keadaan para salik. Hal pertama yg tampak bagi mereka adalah jejak2 Allah, yaitu berupa perbuatanNya (af’al). Mereka kemudian menjadikan perbuatan Nya itu sebagai bukti adanya asma Allah. Asma Allah tersebutmenunjukkan adanya sifat2Nya. Dengan sifat2 itu pula, mereka membuktikan adanya dzat Allah. 

Mereka yang berkata “Kamai tidak pernah melihat sesuatu, kecuali setelah itu kami melihat Allah padanya.” Sedangkan org2 yg majdzub mengalami kejadian sebaliknya. Hal itu diisyaratkan oleh Syekh Ibnu Atha’illah melalui mutiara hikmahnya, “Org2 yang ditarik dan didekatkan kepadaNya (majdzub) akan diperlihatkan kepada kesempurnaan dzat-Nya,” yaitu agar mereka melihatnya dengan mata kepala sendiri dan perasaannya sendiri. “Kemudia mereka dibawa untuk menyaksikan sifat-Nya,” bermakna melihat hubungan sifat-sifat itu dengan dzat-Nya. 

“Lalu digiring utk bergantung kpd namaNya, selanjutnya dikembalikan lagi utk menyaksikan makhlukNya,” misalnya dgn menyaksikan hubungan antara asma Allah dgn makhluk. Karena makhluk itu sendiri bersumber dari asma Allah, mereka akan dikembalikan lagi untuk menyaksikan makhlukNya. Hal pertama yang tampak bagi kaum majdzub adalah hakikat Dzat Yang Suci, lalu mereka ditarik dari sana untuk melihat sifat2Nya. Selanjutnya, mereka kembali untuk bergantung kepada asmaNya. 

Setelah itu, mereka diturunkan lagi untuk melihat makhluk2Nya. Mereka itulah yg berkata, “Kami tidak melihat sesuatu, kecuali kami sebelumnya melihat Allah.” Jika akhir perjalanan para majdzub adalah melihat makhluk2 Allah setelah melihat Allah, maka akhir perjalanan para salik berbeda. Di akhir perjalanannya, para salik menyaksikan Zat suciNya dan mengungkap kesempurnaanNya setelah sebelumnya melihat makhlukNya.

Dgn demikian, awal perjalanan para salik adalah akhir perjalanan kaum majdzab, yaitu melihat makhluk dan menyaksikan ketergantungannya kepada Allah. Itu merupakan akhir perjalan kaum majdzub. Namun demikian, tidak berarti kedua golongan itu sama karena di akhir perjalanannya, meski mereka juga akan ditarik Allah (jadzab), para salik harus terlebih dahulu memiliki keteguhan dan ilmu tentang keadaan (hal) perjalananya, serta pengetahuan ttg hambatan jiwanya. Mereka tak akan ditarik Allah, kecuali setelah melalui perjuangan dan kesulitan. 

Lain halnya dgn awal perjalanan para majdzub, mereka tidak perlu memiliki keteguhan kalbu. Maka, di awal perjalanannya, mereka kerap mengalami ghaibah (ketidak sadaran) dan tidak mengetahui apa yg mereka lakukan. Terkadang mereka meninggalkan kewajiban dan melakukan kemungkaran2 syar’i. Namun, mereka tidak disiksa atas hal itu, karena akal mereka, yg merupakan alasan taklif, sedang tertutup oleh cahaya. Di awal perjalan para salik, mereka tidak menyaksi kan kesempurnaan dzat, asma, dan sifat-Nya. Lain halnya dengan akhir perjalanan para majdzub, mereka tidak mengalami kesadaran, kecuali setelah melihat kesempurnaan dzat, asma, dan sifat-Nya.

Para salik beramal untuk meningkatkan diri mereka di jalan kefanaan dan kesirnaan. Sedangkan, para majdzub dipaksa berjalan untuk menuruni jalan keabadian (baqa) dan jalan kesadaran. Jika demikian, dapat juga keduanya bertemu di tengah jalan. Yang satu sedang naik dari makhluk menuju khalik, sedang kan yang lain sedang turun dari Khalik menuju makhluk. Mungkin keduanya bertemu dalam tajalli asma dan sifat-sifat-Nya, yakni masing-masing dari mereka menyaksikan asma-Nya. Namun, seorang majdzub jika berpindah dari situ, berarti ia berpindah kepada makhluk, sedangkan salik berpindah kepada sifat-Nya. 

Tentu saja, salik lebih utama dari majdzub karena ia banyak mengalami manfaat dari perjalanan nya. Lain halnya dengan majdzub, jika Allah menghendaki untuk menyempurnakan kondisinya, Allah akan membuatnya sadar. Masing2 dari ilmu salik dan majdzub bersumber dari perasaan, walaupun prinsip ilmu salik lebih bersifat deduktif, sebagaimana yang disimpulkan dari ungkapan, “Dia menunjukkan wujud nama-Nya melalui keberadaan makhluk-Nya…” Seorang majdzub, selama masih mengalami jadzab, tak layak untuk mendapat gelar “Syekh” karena dia belum melewati berbagai maqam dan belum mengetahui berbagai petaka jiwa. Selain itu, dia masih sibuk menjalani satu kondisi sehingga melupan kondisi lainnya.

Demikian juga dgn salik, jika ia belum mencapai taraf musyahadah dan tajalli, dia tidak layak mendapat gelar “Syekh” karena dia belum sempurna. Yang layak mendapat gelar “Syekh” hanyalah org ng telah berhasil menghimpun keduanya, baik perjalanan suluknya lebih dahulu dari jadzabnya, maupun sebalik nya. Terkadang, seorg majdzub melewati berbagai maqam dgn cepat dan dia juga mengetahui berbagai petaka jiwa sehingga dia layak menjadi syeikh, meski harus tetap dgn kondisi jadzab-nya. 

Namun, ini hanya terjadi pada beberapa org majdzub saja, spt sosok Sayyid Ahmad Al-Badawi, dan tidak terjadi pada setiap majdzub. Syekh Ibnu Atha’illah dlm kitab Al-Hikam juga mengatakan, “Kadar cahaya kalbu dan rahasia jiwa hanya diketahui dlm selubung malakut, sebagaimana cahaya langit hanya tampak di alam dunia ini.”  (Syekh Ibnu Atha’illah dlm kitab Al-Hikam, dga syarah oleh Syekh Abdullah Asy -Syarqawi).

No comments:

Post a Comment