Friday, August 5, 2016

TUJUH JENIS MAQAM MENURUT ABU NASR AL SARRAJ

Maqamat merupakan bentuk jamak dari maqam yang mengandung arti tingkatan2 hidup sufi yang telah dapat dicapai oleh para sufi untuk dekat kepada Tuhan. Menurut Al-Sarraj, maqamat adalah tingkatan2 seorang hamba di hadapan Tuhan dalam hal ibadah, mujahadah, dan riadhah (memerangi dan menguasai hawa nafsu). 

Sikap hidup yg demikian itu Nampak pada akhlak seseorang atau pada perbuatannya. Maqam merupakan hasil dari sesungguhnya dan perjuangan yg terus menerus. Seseorang baru dapat pindah dan naik dari satu tingkatan ke tingkatan yang lebih tinggi setelah melalui latihan (riyadhah) dan melakukan kebiasaan2 yang lebih baik dan menyempurnakan syarat2 yang harus dipenuhi pada maqam yang ada di bawahnya. Jumlah maqam yang harus ditempuh oleh para sufi berbeda-beda, sesuai dgn pengalaman pribadi yg bersangkutan. 

Abu Nasrr Al-Sarraj menyebut tujuh maqam iaitu taubat, wara’, zuhud, kefakiran, kesabaran, tawakal, dan keredhaan. Jalan yg harus ditempuh oleh seorg calon sufi ternyata tidak mudah. Karena sulitnya, utk pindah dari satu maqam yg lebih tinggi, diperlukan usaha dan perjuangan yg berat dlm waktu yang tidak singkat. Terkadang seorang calon sufi harus bertahun2 tinggal dalam satu maqam. Berikut penjelasan singkat tentang 7 jenis maqamat menurut Abu Nasr Al-Sarraj:

1. Taubat (Al-Taubat): Para sufi dalam menempatkan taubat sebagai stasion pertama dlm mendekatkan diri kepada Allah. Ibn Hamdan mengatakan bahwa taubat adalah kembali dari sesuatu yang diketahui tercela kepada sesuatu yang terpuji. Al-Ghazali memberikan definisi yang sama bahwa taubat adalah kembali dari kemaksiatan menuju ketaatan, kembali dari jalan yang jauh ke jalan yang lebih dekat. 

Para ulama menyebutkan bahwa taubat adalah membersihkan hati dari segala dosa. Imam Al-Haramain mengartikan taubat sebagai meninggalkan keinginan untuk kembali melakukan kejahatan yang sama karena membesarkan Allah dan menghindari kemurkaan-Nya. Taubat bukan hanya sebagai penghapus dosa, tetapi juga sarana untuk mendekatkan diri kepada Allah. 

Taubat yang dimaksud sufi adalah tobat yang sebenar-benarnya, taubat yang tidak kembali berbuat dosa. Terkadang taubat itu tidak dapat dengan sekali saja. Taubat itu mulai dari dosa-dosa besar hingga bersih, kemudian meninggalkan dosa-dosa kecil, perbuatan-perbuatan makruh dan syubhat. Dengan demikian, calon sufi betul-betul harus bersih dari dosa.

2. Zuhud (Al-Zuhd): Zuhud artinya meninggalkan dunia dan hidup kemateriaan, bukan saja dari yang haram, tetapi juga yg halal. Dlm hal ini, calon sufi mengasingkan diri ke tempat yang sunyi. Dlm pengasingan itu mereka banyak beribadah kepada Allah, seperti berpuasa, membaca Al-Qur’an, dan shalat sunnah, di samping shalat fardhu. 

Bagi seorang sufi, zuhud merupakan stasion penting yang harus dilalui. Tanpa jln zuhud, calon sufi tidak akan mencapai derajat sufi. Ahmad bin Hanbal membagi zuhud kpd tiga macam: (1) zuhud awam dgn meninggalkan yg haram, (2) zuhud org khawas dgn meninggalkan yg halal, dan (3) zuhud orang arif dgn meninggalkan apa saja yg akan menghalanginya dari Allah.

3. Warak (Al-Warak): Definisi warak menurut Abu Zakaria Al-Anshari adalah menjauhkan diri dari syubhat dan dari yg tidak membawa kebaikan dlm kehidupan agama, walaupun halal. Imam Al-Qusyairi mengutip perkataan Ibrahim bin Adham yg mengatakan bhw wara adlh meninggalkan yg syubhat dan segala yg tidak jadi kepentingannya iaitu segala yg berlebih2an. Di lihat dari segi jenisnya, warak terbagi dua: warak anggota lahir dan batin. 

Warak adalah tidak menggerakkan anggota badan, melainkan kpd yg diredhai Allah. Sdgkan warak batin adalah tidak memasukkan kpd ingatan dan kenangan kecuali hanya Allah. Al-Sarraj membagi warak kpd tiga tingkatan: memelihara diri dari yg syubhat, memelihara diri dari yg halal yg akan membawa kpd maksiat dan memelihara diri dari sesuatu yg halal yg akan membawa lupa kpd Allah.

4. Fakir (Al-Faqr): Fakir dapat diartikan berhajat kepada sesuatu. Menurut Ibnu Qudamah, fakir (al-fakir) adalah orangan yang berhajat kepada sesuatu. Karena itu, selain Allah, adalah fakir karena ia selalu berhajat kpd Allah dan selalu memerlukan kemurahanNya. Pengertian serupa dikemukakan Al-Ghazali. Menurutnya, sikap fakir yg sentiasa berhajat kpd Allah adalah sebagian dari iman dan buah dari makrifat yg mendalam sehingga dlm pandangan si fakir merasakan bahwa ia selalu berhajat atau berkehendak kpd Allah. 

Sikap mental seperti ini dijelaskan Allah dlm surat Al-Fathir ayat 15. Org sufi tidak menolak dirinya utk menerima pendirian dan bantuan org lain. Namun, dalam menerima pendirian dan bantuan mereka memperhatikan tiga hal. Pertama, benda yg diberikannya apakah halal, haram, atau subhat. Kedua, si pemberi tidak mempunyai tujuan utk keuntungan atau kepentingan sendiri. Ketiga, tujuan untuk keuntungan atau kepentingan sendiri. Ketiga, tujuan pemberian hanyalah mengharap pahala dari Allah.

5. Sabar (Al-Shabr): Sabar, sbgmn dikatakan Abu Zakaria Al-Anshari, merupakan kemampuan seseorg mengendalikan diri terhadap sesuatu yg terjadi, baik yg disenangi atau yg dibenci. Menurut Qasim Junaidi, sabar adalah mengalihkan perhatian dari urusan dunia kpd urusan akhirat. Dikatakan juga bahwa beralih dari nafsu kpd Allah merupakan sesuatu yg sulit. Al-Ghazali menyebutkan sabar sbg kondisi jiwa dlm mengendalikan nafsu yg terjadu krn dorongan agama. Ia membagi sabar kpd 3 tingkatan iaitu sbg berikut:

• Sabar tertinggi, iaitu sifat yg mampu menghadapi semua dorongan nafsu, sehingga nafsu benar2 dpt ditundukkan. Utk mencapai sabar, diperlukan perjuangan yg terus-menerus sebagaimana yg disebutkan dalam surat Muhammad ayat 31.

• Sabar org2 yang sedang dalam perjuangan. Pada tahap isi terkadang mereka dapat menguasai hawa nafsu, tetapi terkadang mereka dikuasai hawa nafsu, sehingga bercampur-aduk antara yang baik dan yang buruk. Allah berfirman dalam surat Al-Furqon ayat 44: “Mereka itu tidak lain bagai binatang ternak, bahkan mereka lebih sesat jalannya.”

• Tingkatan terendah yaitu sabar karena kuatnya hawa nafsu dan kalahnya dorongan agama. Allah berfirman dalam surat Al-Sajadah ayat 13: “… Akan tetapi tetaplah kebenaran itu dari-Ku. Sesungguhnya Aku penuhi neraka jahanam dengan jin dan manusia bersama-sama.”

6. Tawakkal (Al-Tawakkal): Tawakkal berasal dari verba “wakala” berarti keteguhan hati dlm menyerah kan urusan kpd org lain. Keyakinan itu muncul sesudah timbul rasa percaya kpd org lain yg diserahi urusan tadi; bahwa ia betul2 mempunyai sifat kasih sayang terhadap yg memberikan perwakilan dan dapat membimbing yang mewakili itu. 

Dgn pengertian tawakkal, spt yg disebutkan di atas, dapat dipahami bahwa tawakkal, sbg sikap mental seorg sufi, merupakan hasil dari keyakinannya yg bulat sepenuhnya kpd Allah. Diyakininya Allah ada dgn sendirinya. Allah menciptakan segala2nya, pengetahuanNya Maha Luas. Karena keyakinannya ini, mendorong seorg sufi menyerahkan urusannya kpdaAllah, maka hatinya tenang, tentram, tidak timbul rasa curiga.

Tawakal terdiri dari tiga tingkatan. Pertama, tingkatan bidayah (pemula), yakni tawakal pada tingkat hati yang selalu merasa tentram terhadap apa yang sudah dijanjikan Allah. Kedua, tingkat mutawassithah (pertengahan), yakni tawakal pada tingkat hati yang merasa cukup menyerahkan segala urusan kepada Allah karena yakin bahwa Allah mengetahui keadaan dirinya. 

Ketiga, tingkat nihayah (terakhir), yakni tawakal pada tingkat terjadinya penyerahan diri seseorang pada rida atau merasa lapang menerima segala ketentuan Allah. Tawakal ini menyerah sebulat-bulatnya kepada Allah. Pada tahapan ini, seseorang bagaikan berada di depan orang yang memandikannya; ia menerima apa yang diinginkan oleh yang memandikannya; ia tidak bergerak dan tidak pula menolak.

7. Redha (Al-Ridha’): Redha adalah suatu sikap mental yg mesti dimiliki dan dijalani oleh seorg sufi, karena dgn sikap mental ini, kebersihan, kesempurnaan dan ketinggian rohani dapat dicapai. Menurut Al-Qushairi, redha adalah tidak menentang apa yg telah ditetapkan Allah. Pengertian serupa dikemukakan oleh Ibnu Khafif yg menyatakan bahwa redha adalah tenangnya hati dlm menghadapi ketentuan2 Allah; hati menyesuaikan dan merasakan apa yg diridai Allah dan apa yg telah dipilihnya. 

Rabiah Al-Adawiyyah mengatakan bahwa yg disebut redha adalah ketika mendapat bencana, perasaan cinta kpd Allah sama seperti pada saat mendapat nikmat. Redha pada mulanya merupakan penemuan jiwa yg diperoleh melalui usaha manusia, sedangkan terciptanya redha semata2 karena karunia Allah yg diberikan kpd seseorang yg dikehendaki dengan redha-Nya, sebagaimana dinyatakan dalam surat Al-Bayyinah ayat 8: “Balasan mereka di sisi Tuhan mereka ialah syurga ‘Adn yg mengalir di bawahnya sungai2; mereka kekal di dlmnya selama2nya. Allah redha kpdnya. Yg demikian itu adalah (balasan) bagi org yg takut kpd Tuhannya.”

No comments:

Post a Comment