Friday, August 5, 2016

KONSEP TASAWWUF AL JAILANI

Syaikh Abdul Qadir al-Jailani di dalam kitab Sir al-Asrar menguraikan makna sufi dan tasawufnya tersebut bahwa inti dari tasawuf, sesuai dari huruf-hurufnya.

Huruf pertama adalah “ta” yg berarti taubah. Pintu taubat adalah selalu merasa khawatir ttg kedudukan dirinya di sisi Allah. Pengertian taubat di sini meliputi dua macam taubat yakni taubat lahir dan taubat batin. Yang dimaksud dengan taubat lahir adalah menyesuaikan perbuatan dan perkataannya dengan ketaatan kepada Allah dan Nabi-Nya. Sedangkan taubat batin sama artinya dengan tashfiyah al-qalb, penyucian hati dari sifat2 yg tercela, untuk kemudian diganti dengan sifat-sifat yang terpuji. Inti dari taubat adalah mengerahkan hati sepenuhnya untuk sampai kepada tujuan utamanya, yakni Allah al-Haq.

Huruf kedua adalah “shad” yg berarti “shafa” yg berarti bersih dan bening. Makna shafa’ disini juga meliputi dua macam shafa’, yakni shafa’ al-qalb dan shafa as-sirr. Maksud dari shafa’ al-qalb adalah membersihkan hati dari sifat2 manusiawi yg kotor dan kenikmatan dunia, sptibanyak makan dan minum, banyak tidur, banyak bicara yg tidak berguna, cinta harta, dan lain lain. Utk membersihkan hati dari yg demikian itu, caranya adalah dgn memperbanyak zikir kpd Allah dgn suara jahr (keras) sampai pada tingkatan takut. Sesuai dgn firman Allah:

إِنَّمَا الْمُؤْمِنُونَ الَّذِينَ إِذَا ذُكِرَ اللهُ وَجِلَتْ قُلُوبُهُمْ وَإِذَا تُلِيَتْ عَلَيْهِمْ ءَايَاتُهُ زَادَتْهُمْ إِيمَانًا وَعَلَى 

(رَبِّهِمْ يَتَوَكَّلُونَ (سورة الأنفال: ٢

Artinya: “Sesungguhnya org2 yg beriman itu adalah mereka yg apabila disebut nama Allah gemetarlah hati mereka, dan apabila dibacakan kpd mereka Ayat2Nya, bertambahalah iman mereka (karenanya) dan kepada Rabblah mereka bertawakkal, (QS. al-Anfaal: 2)”. Sedangkan maksud dari shafa as-sirr adalah mencintai Allah dan menjauhi segala sesuatu selain Allah swt dgn cara sentiasa melantunkan asma Allah melalui lisannya secara sirr. Apabila keduanya telah dilaksanakan dgn sempurna maka, sempurnalah maqam huruf ‘shad’ ini.

Huruf ketiga adalah ‘waw’ yg bermakna wilayah. Yaitu keadaan suci dan hening yg ada pada jiwa kekasih Allah. Keadaan ini tergantung pada kesucian seseorg yg tercermin dlm QS. Yunus ayat 62 dan 64:

(أَلآ إِنَّ أَوْلِيَآءَ اللهِ لاَخَوْفٌ عَلَيْهِمْ وَلاَهُمْ يَحْزَنُونَ (سورة يونس:٦٢

Artinya: “Ingatlah, sesungguhnya wali-wali Allah itu, tidak ada kekhawatiran terhadap mereka dan tidak (pula) mereka bersedih hati.” (QS. Yunus:62)

لَهُمُ الْبُشْرَى فِي الْحَيَاةِ الدُّنْيَا وَفِي اْلأَخِرَةِ لاَتَبْدِيلَ لِكَلِمَاتِ اللهِ ذَلِكَ هُوَ الْفَوْزُ الْعَظِيمُ 
(سورة يونس:٦٤)

Artinya: “Bagi mereka berita gembira di dlm kehidupan di dunia dan (dlm kehidupan) di akhirat. Tidak ada perobahan bagi kalimat2 (janji2) Allah. Yang demikian itu adalah kemenangan yg besar.” (QS. Yunus :64)

Org yg sampai pada tahapan ini, mendapatkan kesadaran dan cinta sepenuhnya dari Allah, sehingga akhlaknya adalah akhlakNya. Dan segala tindak tanduknya bersesuaian dgn kehendakNya. Sebagaimana dlm hadits qudsi, Allah berkata: “…Jika Aku sudah mencintainya, Aku menjadi penglihatan, pendengaran, tangan, dan penolong baginya…”

Huruf yang terakhir adalah ‘fa’ yang melambangkan fana’ di dlm kebesaran Allah, yaitu pengosongan dan penghapusan segala macam sifat2 manusia dgn menyatakan keabadian sifat2 Allah. Terlepas diri dari makhluk dan kedirianya serta sesuai dgn kehendakNya. Jika sudah demikian, maka ke-fana’-an manusia akan abadi (baqa’) bersama Tuhannya dan keridhaanNya.

Pengertian fana’ al-Jailani ini, jika disandingkan dengan pandangan Ibrahim Madkur ketika mengomentari istilah fana’-nya para sufi falsafi, sangat identik dengan pandangan mereka. Menurut Ibrahim Madkur, pada dasarnya teori fana yang didengungkan oleh para sufi akhirnya hendak menjelaskan tentang hilangnya kesadaran dan perasaan pada diri dan alam sekitar, terhapusnya seorang hamba dalam kebesaran Tuhan, sirnanya seorang hamba terhadap wujud dirinya dan kekal di dalam wujud Tuhannya setelah melewati perjuangan dan kesabaran serta pembersihan jiwa. Untuk menjelaskan keabadian seorang hamba, al-Jailani lebih hati-hati agar tidak disalah pahami. Menurutnya, keabadian manusia, disebabkan amal shalihnya, sebagaimana yang disinggung oleh Allah dalam firmanNya:

مَن كَانَ يُرِيدُ الْعِزَّةَ فِلِلَّهِ الْعِزَّةُ جَمِيعًا إِلَيْهِ يَصْعَدُ الْكَلِمُ الطَّيِّبُ وَالْعَمَلُ الصَّالِحُ يَرْفَعُهُ وَالَّذِينَ 

(يَمْكُرُونَ السَّيِّئَاتِ لَهُمْ عَذَابٌ شَدِيدٌ وَمَكْرُ أُوْلَئِكَ هُوَ يَبُورُ (سورة فاطر:١٠

Artinya: “Barangsiapa yang menghendaki kemuliaan, maka bagi Allah kemuliaan itu semuanya.Kepada-Nyalah naik perkataan2 yang baik dan amal yang saleh dinaikkan-Nya.Dan org2 yang merencanakan kejahatan bagi mereka azab yang keras, dan rencana jahat mereka akan hancur.” (QS. Fathir:10)

Meskipun al-Jailani tidak mensistematisasikan tasawufnya dlm bentuk maqamat2 atau ahwal2l secara berurutan spt kebanyakan sufi, namun ketika melihat dari ulasan al-Jailani ttg pengertian tasawuf secara harfiah, telah mengarahkan perjalanan ruhani seseorg dlm utk melewati tahap2 tertentu, mulai dari taubat dgn macam2nya, pembersihan hati dgn macam2nya, yg berakhir pada tingkatan fana’. 

Jika dikatakan bahwa memilih hidup sufi berarti memilih hidup dgn menjauhi dunia, maka sekali-kali al-Jailani tidak pernah mempunyai sikap hidup mengasingkan diri (dlm arti membenci dunia) meski ia menolak utk menikmati keinginan2nya yg menenggelamkan dan mengasyikkan hati, sehingga membuat lupa kpd penciptanya. Mengenai permasalahan ini al-Jailani berkata: “Kuasai dunia, jangan dikuasai olehnya. Milikilah dunia, jangan dimiliki dunia. Setirlah dunia, jangan diperbudak olehnya. Ceraikanlah dunia, jangan kamu diceraikan olehnya. Jangan kamu dibinasakan olehnya. Tasarufkanlah dunia, karena sabda Nabi: Sebaik-baik harta adalah harta hamba yg saleh.”

Al-Jailani mengibaratkan dunia bagai sungai besar yang deras airnya, setiap harinya bertambah. Dan perumpamaan nafsu hewani manusia juga tidak ubahnya seperti sungai itu, yang tamak akan segala kenikmatan duniawi. Ia memandang kehidupan yang sejati adalah kehidupan di kemudian hari, yaitu akhirat. Sesuai dengan sabda Nabi: “Tidak ada kehidupan selain kehidupan akhirat nanti.” 

Dan, “Dunia adalah penjara bagi org2 mukmin dan surga bagi org2 kafir.” Dunia dipandang olehnya sebagai proses kontinuitas kehidupan akhirat yang keduanya tidak bisa dipisahkan. Sufisme dalam pandangan al-Jailani merupakan sufisme yang progresif, aktif dan positif, tidak meninggalkan gelanggang dunia sebagai mazra’ah al-akhirah. Ia memandang dunia dalam keseimbangan akhirat. Sebagaimana firmanNya:

وَابْتَغِ فِيمَآءَاتَاكَ اللهُ الدَّارَ اْلأَخِرَةَ ولاَتَنْسَ نَصِيبَكَ مِنَ الدُّنْيَا وَأَحْسِن َمَآأَحْسَنَ اللهُ إِلَيْكَ وَلاَتَبْغِ 

(الْفَسَادَ فِي اْلأَرْضِ إِنَّ اللهَ لاَيُحِبُّ الْمُفْسِدِينَ (سورة القصص:٧٧

Artinya: “Dan carilah pada apa yg telah dianugerahkan Allah kpdmu (kebahagiaan) negeri akhirat, dan janganlah kamu melupakan bahagianmu dari (kenikmatan) duniawi dan berbuat baiklah (kpd org lain) sebagaimana Allah telah berbuat baik kepadamu, dan janganlah kamu berbuat kerusakan di (muka) bumi. Sesungguhnya Allah tidak menyukai org2 yg berbuat kerusakan.” (QS. 28:77)

Konsepsi sufistik al-Jailani adalah konsepsi sufistik yg murni, dilandasi oleh ketentuan syari’at Ilahi. Ia melarang seseorg mencebur dlm dunia sufi sebelum org itu matang dan kuat syariatnya. Sbb, hubungan syariat di antara thariqah, makrifah, dan haqiqah adalah sebagaimana yg disabdakan oleh Nabi Muhammad saw. “Syariat laksana batang pohon, thariqah adalah cabang2nya, ma’rifah adalah daunnya sedangkan haqiqah adalah buahnya” Jadi untuk memetik buahnya seorg sufi harus melalui tahap pengamalan syariat dgn istiqamah.

No comments:

Post a Comment