Saturday, March 19, 2016

ANAK KECIL ITU TAK PUNYA PILIHAN

Drama kehidupan selalu bisa kita saksikan kapan saja. Jam 23.30 WIB tadi, saya melihat seorang nenek menahan sakit perut sambil menggendong cucunya yang menangis dan mengamuk di tepi jalan. Zahra, anak perempuan kecil (4 tahun) itu memberontak sejadi-jadinya karena tak mau diajak neneknya mengamen di malam hari.

Nenek itu mungkin masuk angin. Tubuhnya lunglai tergeletak di tepi jalan menahan sakit perutnya. "Perut saya sakit banget," rintihnya.

Anak sekecil Zahra harus ikut merasakan pahit getir jalanan. Waktu istirahatnya hilang. Dia juga seolah tak punya hak bermain sama sekali. Tak punya pilihan. Yang ada hanya keharusan untuk ikut nenek dan kakaknya untuk mengamen sampai malam.

Saya dan Pak Sholeh sungguh merasa iba dibuatnya. Untuk waktu yang tak begitu lama, Zahra tampak kelelahan dan mulai tidur di atas trotoar setelah koyo menempel di pipinya. Sedangkan, Siti (14 tahun), diam tak bergeming melihat adik dan neneknya dari sudut lain di tepi jalan.

Kami menawarkan diri untuk mengantar nenek dan cucunya untuk pulang. Cukup lama kami meyakinkan sang nenek. Tapi, dia berusaha menolak berkali-kali. Namun, setelah Siti selesai membeli obat sakit perut di klinik terdekat, kami baru bisa sepakat. Mereka mau diantar ke titik terdekat dari rumahnya.

"Antar sampai Masjid Al-Jihad saja, depan pasar," pintanya.

Saat Zahra diangkat ke motor, tampak dengan jelas kegirangan. "Pulang...pulang..aja" pintannya sambil memegang perut Pak Sholeh dengan kencang. Kulihat dia menyandarkan kepala begitu nyaman. Lalu, kubantu sang nenek menaiki motor Pak Sholeh dengan susah payah karena perut yang masih sakit.

Sedangkan Siti kuajak naik ke motorku agar bisa ikut memandu jalan ke rumahnya. Dalam perjalanan, kuajak Siti untuk ngobrol tentang sekolahnya. Aku lihat dia anak yang pintar. 

"Mengapa adikmu dibawa mengamen?"
"Kalau dia nggak diajak, nggak dapat duit, Om."
"Kan yang ngamen nenekmu, bukan adikmu."
"Terus, siapa yang jaga dia kalau ditinggal di rumah?"
"Kamu kan bisa jaga dia di rumah."
"Terus, siapa yang jaga nenek di jalanan, Om?"

Saya tak bisa bertanya lagi. Saya hanya bisa memancingnya untuk bercerita tentang sekolahnya. Lalu, kutawari dia untuk datang ke yayasan agar bisa berkenalan dengan kawan-kawan yang lain. Tapi ternyata memang tak mudah. Kerasnya jalanan telah membuat cara berpikirnya sendiri. Saya tak bisa berdebat dengan anak sekecil itu.

Dari penuturan Pak Shaleh, ketiganya, setiap malam menyusuri Jl Purnawarman, Kertamukti dan Jl Ir H Djuanda Ciputat untuk mengamen, mencari belas kasihan orang lain.

Meskipun beberapa kali kami menawarkan tempat tinggal dan peluang sekolah berasrama, sang nenek tetap enggan. Tapi, saya melihat Siti sebenarnya ingin berontak seperti adiknya, namun dia merasa kasihan kepada neneknya.

"Sebenarnya, aku pengen kayak orang-orang. Sekolah di asrama. Tapi, nenek dan adik aku sama siapa?" bisik Siti kepadaku sambil mengucap terima kasih.

Kami melepas kepergian ketiganya dengan perasaan hampa, diam dan kosong. Kulihat mereka memasuki lorong-lorong sempit pasar yang gelap dan kumuh. Tempat tinggal mereka adalah emperan toko dan lorong gelap, bau dan tak bertuan.

No comments:

Post a Comment