Monday, April 4, 2016

MA'RIFATULLAH MENURUT SULTHAN PARA WALI

Syekh Abdul Qadir Al-Jailani mengatakan: “Maksud dari ma'rifatullah adalah membangun kesadaran dalam kalbu bahwa Allah sangat dekat dengan dirinya, selalu menjaganya, berkuasa atas dirinya, menyaksikannya dan mengetahui tindakan-tindakannya. Ma'rifatullah adalah meyakini bahwa Allah Maha Mengawasi dan Maha Memelihara, Mahaesa, dan Mahaagung, yang tak ada sekutu dalam kerajaan/kekuasaan-Nya. Jika berjanji Dia menepati. Jika menjamin, Dia memenuhi dan jika diminta, Dia akan mengabulkan. Dia adalah tempat kembali seluruh makhluk dan sumber segala tindakan, Dia berkuasa memberi pahala dan siksa, tidak ada sesuatu pun yang menyerupai dan menyamai-Nya.

Dialah Allah Yang Maha Mencukupi dan Maha Penyayang, Maha Mendengar dan Maha Mengetahui. Dia mengetahui semua yang gaib dan samar, bahkan sesuatu yang terpendam di dalam kalbu, terdetak dalam pikiran, kegalauan hati, keinginan, cita, gerakan tubuh, hingga kerlingan mata, lirikan dan sorot sindiran, serta semua hal yang ada di atas atau bawah semua hal tersebut, yang sangat lembut hingga yang tak dapat diketahui, dan sangat besar hingga yang tak mungkin digambarkan. Sungguh, Dia Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.

Jika seseorang telah menanamkan kesadaran seperti ini dalam dirinya dengan keyakinan sempurna dan kokoh, beserta amal-amal kebaikan yang bermanfaat, kemudian diterjemahkannya dalam setiap anggota tubuh, setiap persendian, urat nadi, rambut dan kulit, lalu dia yakin bahwa Allah yang mengurus semua itu, mengetahui seluk-beluknya, dan mengawasi segala gerak-geriknya tanpa ada satu pun yang terlewat.

Jika semua itu telah tertanam dalam kalbunya disertai tekad yang benar dan akal sempurna, maka berarti dia telah melakukan muhasabah dan memahami makrifatullah. Dia pun akan berada di tempat mulia di sisi Allah dengan kewaspadaan tingkat tinggi yang menyertainya dalam segala kondisi. Ini adalah tingkatan para ulama ahli makrifat yang bertakwa dan wara”. (Syekh Abdul Qadir Al-Jailani dalam kitab Al-Ghunyah lithalib Thariq al-Haqq).

2). SUMBER DARI SEGALA SUMBER CAHAYA

“Alam ini semuanya tampak gelap. Ia terang hanya karena tampaknya Allah di dalamnya. Barangsiapa melihat alam, tetapi tidak menyaksikan Tuhan di dalamnya, padanya, sebelumnya, atau sesudahnya, maka ia benar-benar memerlukan cahaya, dan “matahari” makrifat teralingi baginya oleh “awan” benda-benda ciptaan”. (Syekh Ibnu Atha’illah dalam Al-Hikam). 

Sahabatku, meksipun kita menyadari bahwa sesungguhnya seluruh alam semesta raya ini diciptakan dari nur Ilahi, namun semua perwujudannya tampil sebagai cahaya dan bayang-bayang, terang dan gelap, jauh dan dekat, baik dan buruk, siang dan malam. Jika seorang salik tidak mampu melihat Allah yang meliputi cahaya di balik semua gambaran yang kerlap-kerlip tersebut, berarti ia sebenarnya masih dalam kebingungan terhadap bayang-bayang eksistensial dan awan-awan realitas yang berubah-ubah.

Sahabatku, tentu saja penciptaan manusia memiliki makna dan tujuannya yang khusus, yang berasal dari nur azali, yaitu sebab yang selalu ada di balik perubahan pengalaman duniawi yang tampak. Maka, mari belajar dan belajar menangkap cahaya Tuhan yang menyelimuti alam ini. Berusaha mendekat dan mendekat. Memahami dan mengenali tentang Sang Maha Pencipta, Yang Maha Memelihara, Mengatur dan Memberi rezeki, Sumber dari segala sumber cahaya, Asal dari segala asal, Al-Awwal wa Al-Akhir.

No comments:

Post a Comment