Saturday, March 12, 2016

PENDAPAT IMAM MAZHAB FIQIH TENTANG TASAWUF

Suka atau tidak suka, hingga hari ini, masih selalu ada pandangan negatif terhadap tasawuf sebagai salah satu khazanah ilmu dalam Islam. Usaha saling lempar pendapat pun tak terelakkan. Lalu, menganggap masing-masing saling benar. Tulisan ini tanpa bermaksud untuk memperuncing perbedaan, tetapi hanya untuk meyakinkan anggota komunitas ini dari perspektif para Imam Mazhab Fiqih dalam Ahlussunah wal-jamaah tentang apa itu tasawuf.

1. Imam Abu Hanifah (w. 150H)

Imam Abu Hanifah sama sekali tidak menolak tasawuf, tapi justru sebaliknya, beliau pun mempelajari dan mengamalkannya. Ibnu Abidin meriwayatkan bahwa Imam Abu Hanifah berkata, “Kalau bukan karena dua tahun, maka celakalah aku.” Abu Hanifah menjelaskan bahwa selama dua tahun beliau menyertai Imam Jaafar al-Shadiq dan dia mendapatkan pengetahuan tentang ilmu batin yang menjadikannya sebagai seorang sufi.

Abu Ali Daqqaaq, salah satu dari guru sufinya Imam Qusyayri, mendapatkan tarekatnya dari Abu al-Qasim al-Nashirabadi dari al-Syibli dari Sari al-Saqathi dari Maaruf al-Karkhi dari Dawud al-Tha’i, yang menerima pengetahuan ini, baik yang lahir atau yang batin, dari Imam Abu Hanifah.

2. Imam Malik (w. 179H)

Demikian juga Imam Malik, ulama Madinah ini sangat dikenal karena kesalehannya dan kecintaannya kepada Rasulullah SAW yang begitu dalam. Dia sangat menghormati dan memuliakan Nabi SAW, bahkan begitu hormatnya, dia tidak mau menaiki kudanya di kota Madinah untuk menghormati bumi yang menutupi jasad Rasulullah SAW. Dia juga tidak mau meriwayatkan suatu hadis tanpa terlebih dahulu mengambil air wudhu.

Ibn Al-Jauzi menuturkan: Abu Mus`ab berkata: “Saya masuk untuk bertemu dengan Malik Ibn Anas. Beliau berkata kepada saya, ‘Tengok ke bawah tempat shalat atau sajadah saya dan lihatlah apa yang ada di sana.” Saya melihatnya dan menemukan suatu tulisan. Beliau berkata, “Bacalah.” (Saya melihat bahwa) tulisan itu berisi (suatu cerita dari) suatu mimpi yang dilihat oleh salah satu saudaranya dan menarik perhatiannya. Ia mengatakan (sambil membaca apa yang tertulis), ‘Saya melihat Nabi saw. dalam tidur. Beliau sedang berada di dalam masjid dan orang-orang berkumpul di sekeliling beliau, dan beliau kemudian bersabda, “Aku menyembunyikan sesuatu yang berguna (atau pengetahuan) untuk kamu di bawah mimbarku, dan aku telah memerintahkan Malik untuk membagi-bagikannya kepada orang-orang.” Kemudian Malik menangis, maka saya pun bangkit dan meninggalkannya.”

Imam Malik secara ekplisit memasukkan tasawuf sebagai salah satu tugas dari ulama. Beliau mengatakan, “Orang yang mengamalkan tasawuf tanpa mempelajari fikih, ia merusak imannya, sedangkan orang yang memahami fikih tanpa menjalankan tasawuf ia merusak dirinya sendiri. Hanya orang yang memadukan keduanyalah yang menemukan kebenaran (man tashawwafa wa lam yatafaqqah fa qad tazandaqa waman tafaqqaha wa lam yatashawwaf faqad tafassaqa wa man jama`a baina huma fa qad tahaqqaqa).” Riwayat ini disampaikan oleh beberapa ahli hadis di zamannya, seperti Ahmad Zarruq (w. 899H), Ali Al-Qari Al-Hawari (w. 1014H), Ali Ibn Ahmad al-Adawi (w. 1224H) dan yang lainnya. 

Ibn `Ajiba juga menjelaskan: Syekh Ahmad Zarruq berkata, “Tasawuf memiliki lebih dari dua ratus pengertian, yang semuanya menunjuk pada kesungguhan seseorang dalam menghadap kepada Allah. Setiap pengertian berhubungan dengan suasana hatinya dan keluasan serta kedalaman pengalaman, pengetahuan, dan perasaannya. Atas hal-hal inilah ia mendasarkan pengertiannya bahwa, “Tasawuf itu adalah begini dan begitu.”

3. Imam Syafie (w. 204H)

Imam Syafie yang mazhab fiqihnya paling berpengaruh di Nusantara pun sangat alim dalam ilmu tasawuf. Hal ini seperti apa yang dituturkan oleh Al-Hafiz As-Suyuti yang mengungkapkannya dalam Ta’yid al-haqiqat al-aliyah bahwa Imam Syafie pernah mengatakan: “Saya menyertai para sufi dan memperoleh tiga hal saja dari mereka, yakni pernyataan: pertama, waktu adalah pedang, kalau bukan kamu yang mematahkannya, maka ia yang akan mematahkanmu; kedua, apabila kamu tidak terus menyibukkan egomu dengan kebenaran, maka ia akan menyibukkanmu dengan kepalsuan; ketiga, penghilangan adalah kekebalan.

Al-Ajluni juga meriwayatkan bahwa Imam Syafie mengatakan: “Tiga hal di dunia ini yang saya sukai: menghindari kepura-puraan, memperlakukan manusia dengan baik, dan mengikuti jalan tasawuf.”

4. Imam Ahmad Ibn Hanbal (w. 241H)

Imam Mazhab Hambaliyah ini juga tidak menghujat ataupun mengharamkan tasawuf. Seperti apa yang disampaikan oleh Muhammad Ibn Ahmad As-Saffarini Al-Hanbali (w. 1188 H) menuturkan dari Ibrahim Ibn ‘Abd Allah Al-Qalasani bahwa Imam Ahmad mengatakan tentang kaum sufi. “Saya tidak mengetahui kaum yang lebih baik dari mereka.” Seseorang berkata kepadanya, “Mereka mendengarkan musik dan mereka sampai pada keadaan mabuk.” Beliau berkata, “Apakah kamu hendak mencegah mereka untuk bersenang-senang selama sejam bersama Allah?”

Bukti-bukti kekaguman Imam Ahmad terhadap kaum sufi dapat dilihat dari keterangan-keterangan tentang penghormatan beliau terhadap Al-Harits Al-Muhasibi. Sang Imam juga menyadari tentang sulitnya jalan sufi ini untuk mereka yang tidak dipersiapkan untuk mengikutinya. Barangkali tidak setiap orang mampu mengikuti jalan orang-orang yang pernah disinggung dalam Al-Quran, “Dan tetaplah engkau bersabar bersama orang-orang yang selalu menyeru Tuhan-Nya baik di pagi hari atau pun petang sambil mengharap keridhaan-Nya . . . ” (Q.S. Al-Kahfi [18]: 28). Disarikan dari berbagai sumber.

No comments:

Post a Comment