Usamah bin Zaid adalah putra dari sahabat kesygan Rasulullah SAW, Zaid bin Haritsah, yg beliau pernah menjadikannya sbg anak angkat, dari status seblmnya sbg budak dan pelayan beliau. Ibunya pun adalah org yg dkt dan disyg Rasulullah SAW, Ummu Aiman, bekas sahaya beliau. Keduanya merupakan org2 yg mula2 memeluk Islam, sehingga tak hairan Usamah pun menjadi kesygan beliau spt juga ayahnya. Usamah lahir pada tahun ke3 atau keempat dari kenabian, sehingga praktis ia tidak pernah mengalami masa jahiliah. Didikan masa kecil dan remajanya adalah akhlak kenabian, baik dari kedua org tuanya yg adalah didikan Nabi SAW atau bahkan terkadang beliau turun langsung dlm membentuk akhlak Usamah.
Kondisi spt inilah yg menambah rasa syg beliau kpdnya. Beberapa sahabat-pun sgt syg pada remaja ini melebihi anaknya sendiri, spt yg terjadi pada Umar bin Khattab. Saat menjadi khalifah, Umar pernah membagi2kan wang pada masyarakatdan jumlahnya berbeza-beza berdasarkan kedudukan dan jasa mrk kpd Islamdan juga penilaian Nabi SAW atas mrk. Ketika tiba giliran anaknya, Abdullah bin Umar, ia memberikan satu bhg. Giliran Usamah bin Zaid, Umar memberikannya 2 bhg dari bhg anaknya.
Abdullah bin Umar jadi bertanya-tanya, bukan masalah jumlahnya krn pada dasarnya ia juga didikan Nabi SAW yg mengutamakan kehidupan zuhud dan sederhana spt juga Umar, ayahnya. Hanya saja ia takut ada yg kurang dlm amal ketaatan dan kesalehannya, krn itu ia bertanya, “Wahai ayah, mengapa engkau mengutamakan Usamah dibanding anakmu sendiri? Bukankah saya mengikuti pertempuran yg tidak atau blm diikutinya bersama Rasulullah?” Ttp jawaban Umar tegas dan tidak dpt dibantah lagi, ia berkata, “Usamah lebih dicintai Rasulullah dpd dirimu, spt juga ayahnya lebih disyg Rasulullah dpd ayahmu….!!” Dlm usianya yg masih sgt muda, ia telah ikut menerjuni beberapa pertempuran bersama Nabi SAW. Dlm Fathul Mekah, ketika Nabi SAW akan memasuki Ka’bah, beliau membawa Bilal di sisi kanan dan Usamah bin Zaid di sisi kiri beliau. Sungguh kehormatan besar yg diberikan Nabi SAW kpd keduanya, bukan Abu Bakar atau Umar atau lapan sahabat lainnya yg telah beliau jamin masuk syurga. Dua org itu adalah bekas budak yg secara umum, mungkin kedudukannya tampak rendah di masyarakat.
Nabi SAW pernah mengirimkan suatu pasukan di bwh kepemimpinan Usamah bin Zaid, pengalaman pertamanya memimpin suatu pasukan stlh seblmnya hanya sbg prajurit biasa. Pasukannya ini memperoleh kemenangan gemilangdan sbg org yg disyg, Nabi SAW langsung menyambutnya dan memintanya menceritakan pengalamannya. Mulailah Usamah menceritakan jlnnya pertempuran. Tampak wajah Nabi SAW berseri krn senangnya dgn apa yg dijlni “Kesygan Rasulullah SAW, putra dari kesygan Rasulullah SAW”, begitu kebnykan sahabat menyebut Usamah bin Zaid ini. Ketika Usamah menceritakan, bahawa seorg pemanggul panji musyrik yg perkasa bnyk membunuh dan melukai tentera muslim sehingga pedangnya berlepotan darah dan daging para syahid masih menempel. Usamah pun mengejar dan memerangi langsung org tersebut. Ia berhasil melumpuh kannya, ttp ketika ia akan melakukan pukulan terakhir dgn tombaknya, org tersebut mengucap “La ilaaha illallah”. Usamah sempat bimbang, ttp dipikirnya, itu hanya muslihat utk menyelamatkan diri saja, krn itu ia terus menombaknya hingga tewas. Tiba2 saja wajah Nabi SAW berubah merah padam tanda beliau marah, beliau berkata, “Celaka engkau wahai Usamah, begitukah tindakanmu terhadap org yg mengucap ‘La ilaaha illallah’?”
“Wahai Rasulullah,” Kata Usamah mencoba menjelaskan dan membela diri, walau dgn ketakutan, “Dia mengatakan kalimat itu hanya utk menyelamatkan diri saja….!!” “Begitu!!” Kata Nabi SAW, masih dgn nada tinggi, pertanda beliau masih marah, “Mengapa tidak engkau belah dadanya dan engkau lihat apakah ia mengatakannya itu ikhlas dari hatinya atau krn pura-pura semata??” Mmg, bukanlah hak dan kewajiban kita menilai apa yg ada di dlm hati seseorg, apa yg tampil dan terlihat itu saja yg menjadi ukuran kita dlm mengambil sikap. Itulah pelajaran berharga yg ingin dismpikan Nabi SAW pada pemuda kesygan beliau tersebut, sekaligus kpd kita semua. Atas peristiwa tersebut, Nabi SAW menyatakan Usamah telah bersalah, ttp tidak dittpkan qishas (hukum bunuh, dipancung) atas dirinya, krn “pembunuhan” yg dilakukannya tidak sengaja, hanya suatu kesalahan. Nabi SAW mengumpulkan harta benda utk membayar diyat (100 ekor unta) kpd keluarga pemanggul panji musyrik yg mengucap “La ilaaha illallaah” tersebut. Usamah sendiri tak henti2nya bertaubat dan menyesali “kelancangannya” tersebut, sehingga menyebab kan Nabi SAW begitu murka kpdnya, walaupun kemudian beliau mendoakan utk mendpt rahmat dan maghfirah Allah baginya. Ttp setiap kali mengingat peristiwa tersebut, selalu saja ia menangis dan menyesal sambil berkata, “Andai saja ibuku tidak pernah melahirkan diriku!!”
Beberapa hari seblm wafat, Nabi SAW menghimpun pasukan besar yg akan dikirim ke Syam, tepatnya di wilayah Palestina, pada tmpt bernama Abna. Latar blkg pengiriman pasukan ini adalah terbunuhnya Farwah bin Amr al Judzami, bekas komandan pasukan Arab yg berpihak Romawi, yg juga gubernur Ma’an krn keputusannya memeluk Islam. Ia disalib dan dipenggal kepalanya oleh penguasa Romawi di Palestina. Pasukan besar tersebut terdiri dari pejuang2 senior dari kaum Muhajirin dan Anshar ini, termasuk Umar bin Khattab dan para Ahlul Badr lainnya. Nabi SAW memutuskan pimpinan pasukan diserahkan kpd Usamah bin Zaid. Keputusan beliau ini ternyata menimbulkan perbincangan dan kritikan dari beberapa org sahabat. Yg paling keras komentarnya adalah Ayyasy bin Abi Rabiah, ia berkata, “Anak kecil itu menjadi komandan dan amir dari kaum muhajirin awal??”
Saat itu Nabi saw telah sakit cukup parah dan beliau tidak mengetahui secara langsung perbincangan pro-kontra yg terjadi dan berkembang di masyarakat Madinah. Ketika Umar mengabarkan hal tersebut, beliau bangkit dan mengikat kepala beliau dgn sorban utk mengurangi rasa sakit. Sambil memakai selimut, beliau naik ke atas mimbar di mana org2 sdg berkumpul. Stlh memuji Allah, beliau bersabda, “Telah kudgr sebhg dari kalian mengecam kepemimpinan Usamah. Demi Allah, jika kalian mengecam dirinya, bererti kalian mengecam bapanya. Demi Allah, sungguh ia (Zaid bin Haritsah) layak sbg pemimpindan sepeninggal bapanya, putranya sgt layak sbg pemimpin. Dan sungguh, Zaid adalah org yg sgt aku kasihi, demikian juga Usamah. Keduanya layak utk mendpt semua kebajikan, krn itu, berwasiatlah kalian dlm kebajikan krn ia adalah sebaik2nya org di tengah kalian…!!”
Peristiwa tersebut terjadi pada hari sabtu tanggal 10 Rabi’ul Awal. Stlh khutbah beliau itu, para sahabat yg ikut dlm pasukan tersebut berpamitan kpd Nabi SAW, termasuk Umar bin Khattab. Hari Ahad nya, Usamah menemui Nabi SAW, keadaan sakit beliau makin parah dan sempat pingsan. Stlh siuman, Usamah membungkuk dan mencium beliau sambil matanya berkaca-kaca. Ttp Nabi SAW hanya mengangkat tgnnya, seakan-akan berdoa, kemudian beliau mengusapkannya ke wajah Usamah. Usamah menangkap isyarat tersebut sbg doa restu utk keberangkatannya, ia pun berangkat menuju tmpt pasukan berkumpul di Jurf, sebuah tmpt tidak jauh di luar Madinah, sekitar 3 mil. Isnin pagi tanggal 12 Rabi’ul Awwal tahun 11 hijriah, seharusnya ia memberangkatkan pasukan nya ke Palestina, ttp Usamah merasa tidak tenang dgn kondisi Nabi saw yg ditinggalkannya kemarin. Krn itu ia kembali ke rumah Nabi SAWdan setibanya disana, beliau tampak sihat, Usamah pun gembira. Beliau sekali lagi mendoakan Usamah, kemudian bersabda, “Berangkatlah engkau dgn berkat dari Allah…!!” Usamah kembali ke pasukannya di Jurf, ia segera mempersiapkan diri utk segera berangkat. Ttp blm sempat bergerak, dtg utusan dari ibunya, Ummu Aiman, yg memberi khabar bahawa Nabi SAW telah wafat. Usamah memerintahkan pasukan utk kembali ke Madinah. Buraidah bin Hushaib, sahabat yg diperintahkan Nabi SAW membawa dan menyerahkan panji ke rumah Usamah, membawanya kembali dan menancapkannya di sebelah rumah beliau.
Stlh wafatnya Nabi SAW dan Abu Bakar terpilih jadi khalifah, wacana pasukan yg dipimpin Usamah kembali mengemuka. Sebhg sahabat yg dipimpin Umar bin Khattab berpendpt bahawa pengiriman pasukan tersebut harus dibatalkan, krn bnyk sekali kabilah yg murtad dan bersiap menyusun kekuatan kembali utk lepas dari pemerintahan Islam di Madinah. Mrk ini khuatir jika kabilah2 tersebut menyerang Madinah. Usamah sendiri berada dlm kelompok ini, krn pendpt tersebut yg paling masuk akal. Ttp bukan Ash-Shiddiq namanya kalau Abu Bakar hanya menuruti pendpt yg hanya berdasar logika semata, krn itu ia berkeras mengirim pasukan tersebut sesuai perintah Nabi SAW. Stlh gagal mempengaruhi Khalifah baru utk membatalkan keberangkatan pasukan ke Palestina, muncullah wacana kedua, yakni ptidak mahutian pimpinan pasukan krn Usamah hanya seorg pemuda 20 tahunan. Di antara personal pasukan tersebut terdpt sahabat2 utama yg ikut terjun dlm pertempuran bersama Nabi SAW di dlm perang Badar, Uhud dan peperangan lainnya yg cukup terkenal kepahlawanannya, misalnya saja Sa’d bin Abi Waqqash, Abu Ubaidah bin Jarrah, Zubair bin Awwam, Thalhah bin Ubaidillahdan lain-lainnya termasuk Umar sendiri, mrk itu yg lebih pantas menjadi komandan. Sekali lagi, tokoh pengusul ini adalah Umar bin Khattab dan kali ini reaksi Abu Bakar cukup keras, “Celaka engkau wahai Ibnu Khattab!! Pantaskah saya memecat seseorg sbg komandan pasukan (yakni Usamah bin Zaid), padahal Rasulullah SAW sendiri yg telah mengangkatnya??”
Dgn reaksi yg begitu keras dan tegas ini, para sahabat Tiada lagi yg berani mengemukakan pendpt. Abu Bakar yg biasanya mrk kenal lemah lembut dan gampang menangis, tiba2 menjadi begitu keras dan tegas. Ttp sikap spt itulah yg mmg diperlukan di saat kondisi kaum muslimin sdg goncang krn wafatnya Rasulullah SAW. Abu Bakar berkata, “Berangkatkanlah pasukan Usamah, sesungguhnya aku tidak perduli jika binatang2 buas akan menerkam dan mencabik2ku di Madinah krn berangkatnya pasukan tersebut. Sesungguh nya telah turun wahyu kpd Nabi SAW, ‘Berangkatkan pasukan Usamah!!’dan aku tidak akan mengubah keputusan beliau. Hanya saja aku meminta kpd Usamah agar mengizinkan Umar tinggal di Madinah krn aku memerlukan buah pikirannya utk membantuku di sini. Ttp jika Usamah tidak mengizinkan aku tidak akan memaksanya lagi!!” Tentu saja dgn senang hati Usamah ‘mengizinkan’atau lebih tepatnya memenuhi permintaan Abu Bakar tersebut agar Umar ttp tinggal di Madinah.
Pasukan Usamah kembali bergerak ke arah Jurf, tmpt dimana Nabi SAW telah menetapkan utk berkumpul. Abu Bakar mengiring keberangkatan pasukan dgn berjln kaki dan menuntun tunggangan Usamah, sdg tunggangan Abu Bakar dituntun oleh Abdurrahman bin Auf. Abu Bakar juga sempat berkata, “Siapapun mrk yg pernah ditunjuk Rasulullah utk berangkat bersama Usamah, jgnlah smpi tertinggal. Demi Allah, tidaklah didtgkan kpdku org yg tertinggal tersebut, kecuali aku akan memerintahkan dirinya menyusul Usamah dgn berjln kaki!!!” Usamah merasa tidak enak dgn Abu Bakar yg berjln kaki, apalagi menuntun tunggangannya layaknya seorg budak atau penunjuk jln saja. Ia berkata, “Wahai khalifah Rasulullah, naikilah tungganganmuatau aku akan turun saja berjln kaki bersamam!!” “Jgn!!” Kata Abu Bakar, “Ttplah engkau di tungganganmu, aku ingin kakiku berdebu di jln Allah, krn menurut Nabi saw utk setiap langkah di jln Allah itu akan dituliskan 700 kebaikan, dinaikkan 700 darjat dan akan dihapuskan 700 kesalahan”
Usamah membawa pasukannya menyusuri kabilah demi kabilah, baik yg ttp memeluk Islamatau yg ragu-ragu dan bersiap-siap utk murtad. Rombongan besar pasukan Usamah ini ternyata memunculkan logika tersendiri pada mrk sehingga mrk berteguh memeluk Islam. Seblmnya mrk mengira dgn wafatnya Nabi SAW, Madinah akan menjadi lemah dan tak mampu lagi memerangi musuh2nya. Ttp melihat besarnya pasukan yg dikirim ke perbatasan Romawi di Abna, Palestina ini, mrk berfikir, pasukan yg mempertahankan Madinah tentunya akan lebih besar lagi. Apalagi, ternyata Abu Bakar juga mengirim beberapa pasukan dari personal yg tertinggal di Madinah utk memerangi kabilah2 yg murtad dan yg menolak membayar zakat. Kedatgn pasukan Usamah ternyata mengejutkan pasukan Romawi di Palestina yg telah membunuh Farwah bin Amr al Judzami. Mrk sama sekali tidak menygka kedatgn pasukan sebesar itu stlh wafatnya Nabi SAW. Mrk telah begitu mengenal bgmn sikap heroik dan semangat tempur pasukan muslim dan tidak mau berisiko menghadapi pasukan muslim pimpinan Usamah. Krn itu mrk memilih melarikan diri dan meninggalkan barang ghanimah yg bnyk bagi pasukan Usamah.
Kemenangan pasukan Usamah memberikan dukungan psikologis yg positif terhadap kelangsungan Islam ketika Nabi SAW wafat. Mungkin beliau telah menerima isyarat bgmn suasana masyarakat Islam ketika beliau wafatdan kekacauan yg akan terjadi. Krn itu, tampak sekali beliau “memaksakan” utk membentuk dan mengirim pasukan Usamah, walau saat itu keadaan beliau sakit parah. Dan terbukti kemudian nubuwah ini, bahawa perintah beliau memberikan manfaat besar bagi umat Islam di masa kritis pergantian pimpinan pemerintahan Islam ke khalifah Abu Bakar. Krn pengalamannya mendpt celaan Rasulullah SAW, Usamah jadi sgt berhati-hati dlm urusan jiwa manusia. Ketika terjadi pertikaian antara Ali bin Abi Thalib dan Muawiyah, ia mengurung diri di rumahnya. Sebenarnya ia mengetahui kalau Ali dlm jln kebenaran, ttp ia memilih utk tidak berpihak kpd keduanya. Ia mengirim surah kpd Ali, yg ia ikut memba’iatnya sbg khalifah, sbg berikut, “Demi Allah wahai Amirul Mukminin, seandainya anda meminta saya utk menemani anda memasuki kandang harimau, saya pasti akan melakukannya. Ttp sekali2 saya tidak akan menyentuh kulit seorg muslim dgn ujung pedang saya….” Ketika beberapa sahabat ng memihak Ali juga berusaha utk mengubah pendirian nya, Usamah berkata tegas, “Saya tidak akan pernah memerangi org2 yg mengucapkan La ilaaha illallaah selama2nya…!!”
Salah satu dari mrk sempat mendebatnya, “Bukankah Allah telah berfirman: Dan perangilah mrk hingga Tiada lagi fitnahdan agama seluruhnya adalah milik Allah…!!” Usamah pun menjawab, “Ayat itu ditujukan utk memerangi org2 musyrik dan kita telah memerangi mrk hingga fitnah telah lenyap dan agama seluruhnya menjadi milik Allah…!!” Bgmn tidak, dlm suatu pertempuran melawan kaum musyrik, dimana berlaku hukum “membunuh atau dibunuh (kill or to be kill)”, ia telah dicela dgn keras oleh Rasulullah SAW krn membunuh seorg kafir yg membaca “La ilaaha illallaah”, yg menurut pemahaman (ijtihad) nya hanyalah utk menyelamatkan diri saja. Sgt mungkin terjadi si kafir itu akan balik membunuhnya jika ia melepaskannya saat itu, apalagi pedangnya pun masih terhunus. Ttp itupun bukan alasan yg boleh diterima Rasullullah SAW. Bgmn lagi ia akan mempertggjwbkan kpd Nabi SAW jika ia membunuh seseorg yg jelas2 beriman kpd Allah dan Rasul-Nya? Jelas2 org yg beragama Islam dan menjlnkan solat spt dirinya dan kaum muslimin lainnya?
Seorg sahabat lainnya mmg pernah bertanya kpd Rasulullah SAW, atas suatu peristiwa dlm pertempuran, yg lebih kurang sama dgn peristiwa Usamah tersebut. Nabi SAW bersabda, “Kalau itu terjadi, si kafir akan akan memperoleh balasan spt keadaan engkau seblm membunuhnya dan engkau akan memperoleh balasan spt keadaan si kafir seblm ia terbunuh…..!!” Maksudnya, org kafir tersebut, yg membaca ‘Laa ilaaha illallaah’ ketika akan terbunuh akan memperoleh pahala syahid, sdg sang sahabat yg membunuh boleh jatuh dlm kemusyrikan dan kekafiran, kalau ia tidak bertaubat. Usamah terus menyendiri di tengah pergolakan kaum muslimindan ia tidak mau terlibat dgn pertentgn mrk. Saat itu terdpt dua kutub kekuatan Islam, Muawiyah yg menjabat sbg khalifah berkedudukan di Syam, sdg kelompok oposisi, yg merasa keturunan Ali bin Abi Thalib lebih berhak atas jabatan khalifah bermarkas di Kufah, Irak, ttp tanpa pimpinan (atau khalifah) yg jelas. Di saat itulah, di Tahun 54 hijriah Usamah bin Zaid meninggal dunia.
No comments:
Post a Comment