Saturday, July 23, 2016

TANYA SAMA HATI

Segala puji bagi Allah s.w.t juga selawat dan salam atas Junjugan Habibi Maulana Rasulullah Muhammad s.a.w. Diantara karunia Allah yang terbesar kepada manusia adalah basirah rasa hati yang mereka miliki. Allah menjadikan fitrah dalam hati manusia untuk mengenali cahaya kebenaran.  Kebenaran mengandung nurul yang hati akan dapat mengenalinya begitu juga kebatilan mengandung kegelapan yang mana hati akan mengingkarinya. Dengan demikian pada asalnya manusia boleh membedakan yg baik dgn yg salah.

Dari Nawwas bin Sam’an r.a dari Nabi s.a.w baginda bersabda mafhumnya;

البر حسن الخلق والإثم ما حاك في نفسك وكرهت أن يطلع عليه الناس

“Kebaikan adalah baiknya akhlaq dan dosa adalah sesuatu yang bergejolak dalam jiwa dan engkau padanya tidak suka manusia untuk mengetahuinya.” Hadits Riwayat Muslim.

وعن وابصة بن مَعبد رضي الله عنه قال أتيت رسول الله صلى الله عليه وسلم فقال ” جئت تسأل عن البر؟ ” قلت : نعم قال ” استفت قلبك , البر ما اطمأنت إليه النفس واطمأن إليه القلب , والإثم ما حاك في النفس وتردد في الصدر وإن أفتاك الناس وأفتوك ” حديث حسن رويناه في مسندي الإمامين أحمد بن حنبل والدرامي بإسناد حسن

Dalam hadits Wabishah bin Ma’bad r.a, ia berkata : “Aku telah dtg kepada Rasulullah s.a.w, lalu baginda bersabda mafhumnya, “Apakah engkau dtg untuk bertanya tentang kebajikan?” Aku menjawab: ‘Benar…!’. Baginda bersabda, “Mintalah "FATWA" dari hatimu. Kebajikan itu adalah apa-apa yang mententramkan jiwa dan menenangkan hati dan dosa itu adalah apa-apa yang meragukan jiwa dan meresahkan hati, walaupun orang2 memberikan "fatwa" kepadamu dan mereka membenarkannya” (Hadits Riwayat Imam Ahmad bin Hanbal dan Ad-Darimi, hadits disabitkan hasan).  Kedua hadits diatas menunjukkan bahwa Allah menjadikan fitrah pada hati hambaNya utk mengenali dan menerima kebenaran. Hati akan tentram dgn kebenaran dan tergerak utk mengikutinya serta berkocak dgn yg sebaliknya.

Semakna dgn hal ini adalah apa yg telah disebutkan dlm sebuah hadist Qudsi bhw Allah s.w.t berfirman mafhumnya: “Sesungguhnya Aku menciptakan hambaKu dlm keadaan hunafa’a muslimin (lurus dan berserah diri). Lalu syaitan mendatangi mrk dan memalingkan mrk dari agama mrk, mengharamkan bagi mrk apa yg Aku halalkan dan menghalalkan apa yg Aku haramkan, memerintahkan mrk utk mempersekutu kanKu padahal tidak diturunkan hujjah atas hal tersebut” (HR Muslim). 

Kebaikan apa yg Allah perintahkan disebut dgn hal yg ma’ruf (dikenali) dan kejelekan keji dan apa yang Allah larang disebut dengan hal yang mungkar (pelanggaran ingkar). Karena memang pada asalnya spt itu, kebaikan akan dikenali oleh hati dan kejelekan keji akan diingkari oleh hati. Oleh karena itu seorang muslim hendaknya mengembalikan pada hatinya jika mengalami hal yg tidak jelas. Jika hatinya tenang dan dadanya lapang maka itu adalah kebaikan dan halal. Dan jika yg terjadi adalah sebaliknya maka hal itu adalah kejelekan dan haram. Dalam hadits Nawwas bin Sam'an diatas, sabda Rasulullah “...dosa adalah sesuatu yang bergejolak dalam jiwa dan engkau tidak suka manusia untuk mengetahuinya...” menunjukkan bahwa dosa / kejelekan menjadikan hati gelisah dan berkocak serta dada terasa sempit karenanya. Bersamaan dgn itu dosa/kejelekan tersebut secara umum juga diingkari oleh manusia sehingga pelakunya takut jika diketahui org lain saat masa melakukan dosa tersebut.

Oleh karena itu jika ada sesuatu yang tidak jelas tetapi hati kita mengingkarinya maka hendaknya kita tinggalkan. Terlebih lagi jika hal tersebut secara umum dipandang tidak baik oleh masyarakat.

Ibnu Mas’ud mengatakan: “Apa-apa yg dipandang org mukmin baik maka hal tersebut baik di sisi Allah dan apa-apa yg dipandang buruk oleh org mukmin maka di sisi Allah buruk” (Diriwayatkan Ath Thayalisi no. 246 - Ahmad 1/379 - Bazar 1816).

Ini tingkatan yang pertama, bahwa hal tersebut secara umum diingkari oleh manusia, diingkari oleh pelakunya sendiri dan yang lainnya.

Adapun sabda Rasulullah “....walaupun org2 memberikan fatwa kpdmu dan mereka membenarkannya...” dalam hadits Wabishah itu menunjukkan bahwa apa-apa yang mengelisah kan hati maka itu adalah dosa meskipun ada yang menfatwakan bahwa hal itu buka dosa. Ini adalah tingkatan yang kedua yaitu bahwa hal tersebut diingkari oleh pelakunya dan tidak diingkari yang lain (misal sebagian orang memandang itu bukan dosa). Ini juga dosa. Hal ini boleh terjadi karena si pelaku tersebut hatinya disinari dengan nurul keimanan adapun si mufti (yang mengatakan tidak dosa) berfatwa atas dasar dugaan atau sekadar mengikuti hawa nafsu tanpa dalil syar’i. Namun jika yg berfatwa adalah org yg berilmu dan dia berfatwa dengan membawakan dalil2 syar’i maka wajib untuk ruju’ padanya meskipun mungkin hati tidak lapang. Sebagai contoh apa yg terjadi pada sebagian sahabat yg hatinya terasa berat utk menerima perjanjian Hudaibiyah dan saat Rasululllah memerintahkan mereka utk bait bertahalul dari umrah mereka saat itu.

Dgn kata lainnya apa-apa yg ada nash (dalil yg jelas) maka tidak ada bagi seorg mukmin kecuali taat kpd Allah dan RasulNya atas hal tersebut, sebagaimana firman Allah s.w.t dikalamkan didlm Al-Quran: “Dan tidaklah patut bagi laki-laki yg mu’min dan tidak (pula) bagi perempuan yg mu’min, apb Allah dan Rasul Nya telah menetapkan suatu ketetapan, akan ada bagi mereka pilihan (yg lain) ttg urusan mereka” (Surah Al Ahzab ayat ke 36). Adapun jika tidak ada dalil yang jelas baik dari Al-Quran ataupun hadits sunnah atau perkataan sahabat, salafus saleh dan ulama setelah mereka itu maka seorang mukmin yang hatinya disinari nurul cahaya keimanan dan hidayah hendaknya merujuk pada hatinya. (Disari garabkan dari Jaami’ul Ulum wal Hikam fi Syarhi Khamsiina Haditsan min Jawaami’il Kalim karya Ibnu Rajab al Hambali).

No comments:

Post a Comment