Syukur mencakup 3 sisi:
1. Syukur dengan hati, iaitu kepuasan batin atas anugerah.
2. Syukur dengan lidah, dengan mengakui anugerah dan memuji pemberinya.
3. Syukur dgn perbuatan, dgn memanfaatkan yg diperolehi sesuai dgn tujuan diberi.
Uraian Al-Quran ttg syukur mencakup sekian bnyk aspek yg di antaranya:
1. Syukur dengan hati: Syukur dgn hati dilakukan dgn menyadari sepenuhnya bahwa nikmat yg diperoleh adalah semata-mata kerana anugerah dan kemurahan Ilahi. Syukur dengan hati menghantar manusia utk menerima anugerah dgn penuh kerelaan tanpa menggerutu dan keberatan betapapun kecilnya nikmat tersebut. Syukur ini juga mengharuskan yg bersyukur menyadari betapa besar kemurahan, dan kasih sayang Ilahi sehingga terlontar dari lidahnya pujian kepada-Nya. Qarun yang mengingkari keberhasilannya atas bantuan Ilahi, dan menegaskan bahwa itu diperolehnya semata-mata kerana kemampuannya, dinilai oleh Al-Quran sebagai kafir atau tidak mensyukuri nikmat-Nya (Baca kisahnya dalam surat Al-Qashash (28): 76-82).
Seorang yang bersyukur dengan hatinya saat ditimpa malapetaka pun, boleh jadi dapat memuji Tuhan, bukan atas malapetaka itu, tetapi kerana terbayang olehnya bahwa yang dialaminya pasti lebih kecil dari kemungkinan lain yang dapat terjadi. Dari sini syukur diartikan oleh orang yang bersyukur dengan “untung” (merasa lega, kerana yang dialami lebih ringan dari yang dapat terjadi). Dari kesadaran tentang makna-makna di atas, seseorang akan tersungkur sujud untuk menyatakan perasaan syukurnya kepada Allah.
Sujud syukur adalah perwujudan dari kesyukuran dengan hati, yang dilakukan saat hati dan pikiran menyadari betapa besar nikmat yang dianugerahkan Allah. Bahkan sujud syukur dapat dilakukan saat melihat penderitaan orang lain dengan membandingkan keadaannya dengan keadaan orang yang sujud. (Tentu saja sujud tersebut tidak dilakukan di hadapan si penderita itu). Sujud syukur dilakukan dengan meletakkan semua anggota sujud di lantai yakni dahi, kedua telapak tangan, kedua lutut dan kedua ujung jari kaki – seperti melakukan sujud dalam solat. Hanya saja sujud syukur cukup dengan sekali sujud, bukan dua kali sebagaimana dalam solat. Kerana sujud itu bukan bagian dan solat, maka kebanyakan Ulama berpendapat bahwa sujud sah walaupun dilakukan tanpa berwudhu, kerana sujud dapat dilakukan sewaktu2 dan secara spontan. Namun tentunya akan sgt baik bila melakukan sujud disertai dgn wudhu.
2. Syukur dengan lidah: Syukur dgn lidah adalah mengakui dgn ucapan bahwa sumber nikmat adalah Allah sambil memuji-Nya. Al-Quran, sprt telah dikemukakan di atas, mengajarkan agar pujian kpd Allah disampaikan dgn kalimah “al-hamdulillah.” Hamd (pujian) disampaikan secara lisan kepada yang dipuji, walaupun ia tidak memberi apa pun baik kepada si pemuji maupun kepada yang lain. Kata “al” pada “al-hamdulillah” oleh pakar-pakar bahasa disebut al lil-istighraq, yakni mengandung arti “keseluruhan”. Sehingga kata “al-hamdu” yang ditujukan kepada Allah mengandungi arti bahwa yang paling berhak menerima segala pujian adalah Allah swt., bahkan seluruh pujian harus tertuju dan bermuara kepada-Nya.
Jika kita mengembalikan segala puji kepada Allah, maka itu berarti pada saat anda memuji seseorang kerana kebaikan atau kecantikannya, maka pujian tersebut pada akhirnya harus dikembalikan kepada Allah swt, sebab kecantikan dan kebaikan itu bersumber dari Allah. Di sisi lain kalau pada akhirnya ada perbuatan atau ketetapan Tuhan yang mungkin oleh kacamata manusia dinilai “kurang baik”, maka harus disadari bahwa penilaian tersebut adalah akibat keterbatasan manusia dalam menetapkan tolok ukur penilaiannya. Dengan demikian pasti ada sesuatu yang luput dari jangkauan pandangannya sehingga penilaiannya menjadi demikian. Walhasil, syukur dgn lidah adalah “al- hamdulillah” (segala puji bagi Allah).
3. Syukur dengan perbuatan: Nabi Daud a.s. beserta puteranya Nabi Sulaiman a.s. memperoleh aneka nikmat yang tiada taranya. Kepada mereka sekeluarga Allah berpesan: “Bekerjalah wahai keluarga Daud sebagai tanda syukur!” (QS. Saba [34]: 13). Yang dimaksud dengan bekerja adalah menggunakan nikmat yang diperoleh itu sesuai dengan tujuan penciptaan atau penganugerahannya. Ini berarti, setiap nikmat yang diperoleh menuntut penerimanya agar merenungkan tujuan dianugerah kannya nikmat tersebut oleh Allah swt. Ambillah sebagai contoh lautan yang diciptakan oleh Allah swt. Ditemukan dalam Al-Quran penjelasan tentang tujuan penciptaannya melalui firman-Nya: “Dialah (Allah) yang menundukkan lautan (utk kamu) agar kamu dapat memakan darinya daging (ikan) yang segar, dan (agar) kamu mengeluarkan dan lautan itu perhiasan yang kamu pakai, dan kamu melihat bahtera berlayar padanya, dan supaya kamu mencari kurnia-Nya (selain yang telah disebut) semoga kamu bersyukur” (QS. An-Nahl [16]: 14).
Ayat ini menjelaskan tujuan penciptaan laut, sehingga mensyukuri nikmat laut, menuntut dari yang bersyukur untuk mencari ikan-ikannya, mutiara dan hiasan yang lain, serta menuntut pula untuk menciptakan kapal-kapal yang dapat mengharunginya, bahkan aneka pemanafaatan yang dicakup oleh kalimat “mencari kurnia-Nya”. Dalam konteks inilah terutama realisasi dan janji Allah: “Apabila kamu bersyukur maka pasti akan Kutambah (nikmat-Ku)” (QS. Ibrahim [14]: 7)
Betapa anugerah Tuhan tidak akan bertambah, kalau setiap jengkal tanah yg terhampar di bumi, setiap hembusan angin yg bertiup di udara, setiap tetes hujan yg tercurah dan langit dipelihara dan dimanfaatkan oleh manusia? Di sisi lain, lanjutan ayat di atas menjelaskan bahwa “Kalau kamu kufur (tidak mensyukuri nikmat atau menutupinya tidak menampakkan nikmatnya yang masih terpendam di perut bumi, di dasar laut atau di angkasa), maka sesungguhnya siksa-Ku amat pedih.” Suatu hal yang menarik untuk disimak dari redaksi ayat ini adalah kesyukuran dihadapkan dengan janji yang pasti lagi tegas dan bersumber dari-Nya langsung (QS. Ibrahim [14): 7)
Tetapi akibat kekufuran hanya isyarat tentang siksa; itu pun tidak ditegaskan bahwa ia pasti akan menimpa yang tidak bersyukur (QS. Ibrahim [14]: 7). Siksa dimaksud antara lain adalah rasa lapar, cemas, dan takut. “Allah telah membuat satu perumpamaan (dgn) sebuah negeri yg dahulunya aman lagi tenteram, rezeki dtg kepadanya melimpah ruah dari segenap penjuru, ttpi (penduduknya) kufur (tidak bersyukur atau tidak bekerja utk menampak kan) nikmat2 Allah (yang terpendam). Oleh kerana itu, Allah menjadikan mereka mengenakan pakaian kelaparan dan ketakutan disebabkan oleh perbuatan (ulah) yg selalu mereka lakukan” (QS. An-Nahl [16]: 112).
Pengalaman pahit yang dilukiskan Allah ini, telah terjadi terhadap sekian banyak masyarakat bangsa, antara lain, kaum Saba –satu suku bangsa yang hidup di Yaman dan yang pernah dipimpin oleh seorang Ratu yang amat bijaksana, iaitu Ratu Balqis Surat Saba (34): 15-19 menguraikan kisah mereka, yakni satu masyarakat yang terjalin persatuan dan kesatuannya, melimpah ruah rezekinya dan subur tanah airnya.
Negeri merekalah yang dilukiskan oleh Al-Quran dengan baldatun thayyibatun wa Rabbun Ghafur. Mereka pulalah yang diperintah dalam ayat-ayat tersebut untuk bersyukur, tetapi mereka berpaling dan enggan sehingga akhirnya mereka berserak-serakkan, tanahnya berubah menjadi gersang, komunikasi dan pengangkutan antara kota kotanya yang tadinya lancar menjadi terputus, yang tinggal hanya kenangan dan buah bibir orang saja. Demikian uraian Al-Quran. Dalam konteks keadaan mereka, Allah berfirman: “Demikianlah Kami memberi balasan kepada mereka disebabkan kekufuran (keengganan bersyukur) mereka. Kami tidak menjatuhkan siksa yang demikian kecuali kepada org2 yg kufur." (QS. Saba [34]: 17).
Itulah sebagian makna firman Allah yang sangat masyhur: “Jika kamu bersyukur pasti akan Kutambah (nikmat-Ku) untukmu, dan bila kamu kufur, maka sesungguhnya siksa Ku amat pedih.”
No comments:
Post a Comment