Syukur dalam pandangan Ibn ‘Ata’illah terbagi kepada 3:
Pertama, Syukur dengan lisan, iaitu mengungkapkan secara lisan, menceritakan nikmat yang didapat.
Kedua, Syukur dengan anggota tubuh, iaitu Syukur yang diimplementasikan dalam bentuk ketaatan.
Ketiga, Syukur dengan hati, iaitu dengan mengakui bahwa hanya Allah Sang Pemberi Nikmat, segala bentuk kenikmatan yang diperoleh dari manusia semata-mata dari-Nya.
Sebagaimana diungkapkan oleh Ibn ‘Ata’illah: “Dalam Syukur menurut Ibn ‘Ata’illah terdapat 3 bahagian: Syukur Lisan iaitu memberitakan kenikmatan (pada orang lain), Syukur Badan adalah beramal dengan ketaatan kepada Allah, dan Syukur Hati adalah mengakui bahwa Allah semata Sang Pemberi nikmat. Dan segala bentuk kenikmatan dari seseorang adalah semata-mata dari Allah.”
Ibn ‘Ata’illah juga menjelaskan bahwa bentuk Syukur orang yang berilmu adalah dengan menjadikan ilmunya sebagai landasan untuk memberi petunjuk kepada manusia lainnya. Sedangkan bentuk Syukur orang yang diberi kenikmatan kekayaan adalah dengan menyalurkan hartanya kepada mereka yang memerlukan. Bentuk Syukur orang yang diberi kenikmatan berupa jabatan dan kekuasaan adalah dengan memberikan perlindungan dan kesejahteraan terhadap org2 yang ada dalam kekuasaannya.
Lebih lanjut Ibn ‘Ata’illah memaparkan bahawa Syukur juga terbahagi menjadi 2 bahagian iaitu Syukur Zahir dan Syukur Batin. Syukur Zahir adalah melaksanakan perintah Allah dan menjauhi segala larangan-Nya. Sedangkan Syukur Batin adalah mengakui dan meyakini bahwa segala bentuk kenikmatan hanyalah dari Allah semata. Manfaat dari Syukur adalah menjadikan Anugerah kenikmatan yang didapat menjadi langgeng, dan semakin bertambah. Ibn ‘Ata’illah memaparkan bahwa jika seorang Salik tidak mensyukuri nikmat yang didapat, maka bersiap2lah untuk menerima hilangnya kenikmatan tersebut. Dan jika dia menshukurinya, maka rasa Syukurnya akan menjadi pengikat kenikmatan tersebut. Allah berfirman:
لَئِنْ شَكَرْتُمْ لأَزِيْدَنَّكُمْ
(Jika kalian bersyukur (atas nikmat-Ku) niscaya akan Ku tambah [kenikmatan itu]).
Jika seorang Salik tidak mengetahui sebuah nikmat yang diberikan Allah kepada-Nya, maka dia akan mengetahuinya ketika nikmat tersebut telah hilang. Hal inilah yang telah diperingatkan oleh Ibn ‘Ata’illah. Lebih lanjut Ibn ‘Ata’illah menambahkan hendaknya seorang Salik selalu bersyukur kepada Allah sehingga ketika Allah memberinya suatu kenikmatan, maka dia tidak terlena dengan kenikmatan tersebut dan menjadikan-Nya lupa kepada Sang Pemberi Nikmat. Meskipun pada dasarnya semua kenikmatan pada hakikatnya adalah dari Allah, Syukur kepada makhluk juga menjadi kewajiban seorang Salik.
Dia harus bersyukur terhadap apa yang telah diberikan orang lain kepadanya, karena hal ini adalah suatu tuntutan Syari‘at, seraya mengakui dan meyakini dalam hati bahwa segala bentuk kenikmatan tersebut adalah dari Allah. Syukur tetap harus dilandasi dengan meninggalkan segala bentuk angan2 dan keinginan. Akal adalah kenikmatan paling agung yang diberikan Allah kepada manusia. Kerana akal inilah manusia menjadi berbeda dari sekalian makhluk. Namun, dengan kelebihan akal ini pula manusia memiliki potensi untuk bermaksiat kepada Allah. Dengan akal ini manusia dapat berfikir, berangan-angan, dan berkehendak. Sehingga manusia memiliki potensi untuk mengangan-angankan dan menginginkan suatu bentuk kenikmatan yang akan diberikan oleh Allah.
No comments:
Post a Comment