Terdapat dalam manaqibnya Sayyidi Syaikh Abul Abbas al-Mursi dan Sayyidi Syaikh Abil Hasan asy-Syadziliy sebuah hadits Nabi Saw.: الْعُلُمَاءُ وَرَثَةُاْلأَنْبِيَاءِ (ulama adalah pewaris para nabi). Imam asy-Syadziliy menafsirkan ulama itu ada dua macam; Ulama Shadiqun dan Ulama Shalihun. Yang pertama ulama shadiqun itu al-Auliya mitsl ar-Rusul, para wali seperti para rasul. Yang kedua ulama shalihun itu al-Auliya mitsl al-Anbiya, para wali seperti para nabi.
Kenapa dipisah (dibagi) menjadi dua, sebab kalau rasul itu berkewajiban (bertugas) balagh (menyampaikan), waballagha ar-risalah wa adda al-amanah wanashaha al-ummah wajahada fillahi haqqa jihadih. Masalah mengeluarkan mukjizat itu suatu kewajiban (bagi para rasul Allah) karena tashdiq (menjadi pernyataan kebenaran adanya risalah) untuk memperkuat kaum awam.
Kalau ulama berbeda dengan rasul dengan diberi karomah-karomah oleh Allah Swt. Semisal karomahnya Habib Ahmad Bafaqih Syihr Hadhramaut. Suatu ketika ada seorang Maghrabi ahli sihir yang ingin menjajal kewalian Habib Ahmad Bafaqih. Orang tersebut meniup pohon kurma yang sedang tumbuh dan berbuah, seketika pohon kurma tersebut terbakar hebat sampai habis. Habib Ahmad lalu berkata, “Coba tiup lagi agar pohon kurmanya hidup kembali.”
Orang tersebut menjawab tidak bisa. Lalu Habib Ahmad pun bertanya, “Oh ilmumu hanya segitu?” Kemudian Habib Ahmad langsung berucap, “Hai pohon kurma, bi-idznillah hiduplah seperti semula!” Seketika pohon kurma yang sudah hitam gosong tadi hidup kembali bahkan dengan dedauan dan buah-buahan yang lebih baik dari semula.
Menyaksikan yang demikian orang Maghrabi itu pun hanya terdiam melongo, tak bisa berbuat apa-apa lagi. Akhirnya ahli sihir itu pun tunduk kepada Habib Ahmad Bafaqih.
Begitupula karomahnya Habib Abdullah bin Alwi al-Haddad. Dulu di Tarim Hadhramaut ada seseorang asal Maghrabi yang sangat kaya, dia sedang jatuh cinta pada seorang wanita. Jaman itu ukir-ukiran terbaik emas dan perak adalah ukirannya Maghrabi. Akhirnya orang tersebut pergi ke Maghrabi hanya untuk memesan ukiran tersebut. Dipesanlah ukiran (gelang) teristimewa yang nantinya dipakai untuk melamar sang wanita pujaan.
Begitu pesanan sudah jadi, diajaklah si wanita itu ke rumah orang asal Maghrabi itu. Gelang itu lalu dipakaikan ke tangan si wanita pujaan oleh ibunya. Anehnya wanita itu langsung hilang entah ke mana. Penduduk Tarim pun menjadi geger. Dicari kesana-kemari bertanya kepada orang-orang pintar pun tidak ada yang sanggup menjawab dan mencarinya. Hingga bertemulah ia dengan Habib Abdullah bin Alwi al-Haddad.
“Sudah, sekarang kamu pergilah kembali ke tukang yang membuat gelang itu.” Jawab Habib Abdullah bin Alwi al-Haddad. Lalu pergilang orang tersebut ke Maghrabi sesuai perintah Habib Abdullah. Dan Habib Abdullah berpesan, “Tanyakan nanti, kembalikan atau tidak. Jika jawabannya tidak mau mengembalikan, tinggalkan saja dan pulanglah kembali ke Tarim.”
Sesampai di sana, ia melihat calon istrinya sedang berada di dalam ruangan seperti kurungan, tidak bisa keluar. “Orang ini memesan gelang jauh-jauh dari Tarim ke sini, pasti untuk seorang wanita yang cantik luar biasa,” batin tukang ukir itu saat pertamakali dipesani untuk membuatkan gelang. Pesan Habib Abdullah lalu disampaikan, dan ternyata jawaban tukang ukir tadi adalah ‘tidak mau’. Kemudian orang tersebut pun langsung pulang kembali ke Tarim.
Sesampai di Tarim ia langsung menghadap Habib Abdullah al-Haddad dan menyampaikan kejadian (jawaban) di atas. “Depan rumahmu tanahnya luas apa tidak?” Tanya Habib Abdullah kemudian. Lalu dijawab iya, yang kemudian Habib Abdullah berkata, “Ya sudah, tunggu saja besok ada apa, tapi jangan kaget nantinya.”
Besoknya di waktu Shubuh, begitu orang tersebut membuka pintu ia sangat kaget. Pasalnya tiba-tiba ada rumah di depan rumahnya, dan rumah itu persis seperti (modelnya) rumah orang Maghrabi. Begitu penghuninya keluar, setelah dilihat ternyata orang itu adalah tukang ukir asal Maghrabi. Sekarang yang kaget pun bertambah. Si tukang ukir itu pun bertanya-tanya, “Saya ini sedang di mana, koq tiba-tiba di tempat yang asing?”
Habib Abdullah al-Haddad yang sudah datang kemudian menjawab, “Ini di Tarim Hadharamaut. Rumahmu saya cabut pindah ke sini. Kembalikan wanita itu. Kamu hanya bisa memindah satu wanita, sedangkan saya memindah rumahmu sekaligus keluargamu saya pindahkan juga ke sini. Sekarang kamu mau apa?”
Akhirnya tukang ukir itu pun bertaubat, meminta maaf kepada Habib Abdullah bin Alwi al-Haddad seraya mengembalikan si wanita. Itulah karomahnya para ulama jaman dulu. Dan ini merupakan jawaban-jawaban, namun jangan dimasukkan ke akal melainkan masukkan ke dalam iman. Sebab jika dimasukkan ke akal tidak akan masuk dan akal tetap akan menolak.
Begitupula karomah seorang ulama yang ada di Nusantara ini, Maulana Syarif Hidayatullah Cirebon. Kenapa di makam beliau sampai sekarang banyak guci-guci dan piring-piring yang menempel di dinding makam. (Tulisan di atas adalah transkrip dan alih bahasa dari cuplikan mau’idzah hasanah Maulana Habib Muhammad Luthfi bin Yahya tadi malam dalam acara Maulid Nabi Saw. dan Haul Habib Umar bin Ali bin Hasyim bin Yahya & Sesepuh Desa Salakbrojo Kedungwuni, 27 Januari 2017.
No comments:
Post a Comment