Bayan Maulana Shamim di Markaz Yala 1990 (Salah saya... kesalahan saya).
Bismillahirrahmanirrahiim..
Kisah Maulana Ilyas
Pada suatu saat, beliau pergi ke salah satu kota di India yang bernama Lucknow di tempat itu, beliau diundang oleh seorang Bupati yang kaya raya di wilayah itu, untuk sarapan pagi. Untuk keperluan itu, orang tadi mengutus pembantunya, menyampaikan undangan ke Maulana Ilyas. Pembantu itu, mengatakan kepada Maulana Ilyas: “Tuan, diundang oleh majikan saya untuk sarapan pagi pukul 09.00”.
Padahal, undangan orang tersebut sebenarnya pukul 08.00, bukan pukul 09.00. Karena undangan dikatakan pukul 09.00, maka Maulana Ilyas datang tepat pada pukul 09.00. Sedangkan ulama-ulama lain yang diundang orang tadi, sudah datang terlebih dahulu, iaitu pukul 08.00, karena memang undangan yang disampaikan juga pukul 08.00. Lantaran Maulana Ilyas datang pukul 09.00, sesuai dengan waktu yang disampaikan oleh pembantu orang tadi, maka beliau telah terlambat satu jam.
Oleh karena itu, maka Maulana Ilyas dicaci maki di hadapan para undangan lainnya, oleh bupati si pengundang tersebut dikatakannya: “Engkau telah buat kerja yang besar, tetapi pada saat menghadiri undangan engkau tidak datang tepat pada waktunya. Kemana ummat ini akan engkau bawa?”. Mendengar cacian ini, Maulana Ilyas diam saja. Tidak menjawab sepatah katapun. Setelah acara makan pagi selesai, maka Maulana Ilyas pulang kembali ke New Delhi dengan menggunakan kendaraan kereta api.
Pada malam hari, di rumah orang Bupati tersebut, saat dia akan tidur, dipijit-pijitlah kepalanya oleh pembantu yang menyampaikan undangan ke Maulana Ilyas dia berkata: “Wahai tuan, sebenarnya bukan Maulana yang salah. Sayalah yang salah, karena menyampaikan kepada Maulana undangan pukul 09.00. Sayalah yang salah menyampaikan waktu undangan tersebut kepada Maulana dan Maulana ternyata datang tepat pada waktunya”.
Mendengar tutur kata pembantunya tadi, Bupati itu gelisah sepanjang malam sampai pagi. Setelah pagi tiba, maka diajaknya seluruh undangan yang hadir pada acara makan pagi tersebut ke New Delhi, untuk menemui Maulana Ilyas. Sampai di New Delhi dan berjumpa dengan Maulana Ilyas, Bupati tadi minta ma’af kepada Maulana disaksikan oleh seluruh undangan yang pernah mendengarkan caci maki Bupati kepada Maulana Ilyas. Menyadari kesalahannya, Bupati tadi menangis dan menangis, sehingga Maulana Ilyas ikut menangis. Mengapa saling menangis? Karena Bupati telah menyadari kesalahannya dan Maulana juga merasa bahawa itu juga karena kesalahannya sendiri.
Sebagai da’i kita harus bersikap tawadhu’ dan selalu mengakui kesalahan sendiri serta merasa bahawa kesalahan orang lain juga karena kesalahan kita sendiri. Sebagai da’i harus berani mengakui: “Karena dosa yang saya perbuat, maka orang lain berbuat seperti itu. Bukan salah dia, tetapi salah saya”.
No comments:
Post a Comment