Saturday, July 2, 2016

MAKNA ZIKIR MENURUT SYEIKH IBNU ATHAILLAH

Menurut Syekh Ibnu Atha’illah, zikir adalah melepaskan diri dari kelalaian dgn selalu menghadirkan kalbu bersama al-Haqq (Allah). Pendapat lain mengatakan bahwa dzikir adalah mengulang-ulang nama Allah dlm hati maupun melalui lisan. Hal tersebut bisa dilakukan dgn mengingat lafaz jalalah (Allah), sifatNya, hukumNya, perbuatanNya atau suatu tindakan yg serupa. 

Zikir bisa pula berupa doa, mengingat para rasulNya, nabiNya, waliNya, dan org2 yg memiliki kedekatan dgnNya, serta bisa pula berupa takarub kpdNya melalui sarana dan perbuatan tertentu spt membaca, mengingat, bersyair, menyanyi, ceramah, dan bercerita. Maka, dengan pemahaman seperti ini, mereka yang berbicara tentang kebenaran Allah, atau yang merenungkan keagungan, kemuliaan, dan tanda2 kekuasaan-Nya di langit dan di bumi, atau yang mengerjakan perintah-Nya dan menjauhi larangan-Nya sesungguhnya (dgn berbuat demikian) mereka sdng melakukan dzikir. 


Zikir bisa dilakukan dgn lisan, kalbu, anggota badan, ataupun dgn ucapan yg terdengar org. Org yg berzikir dgn menggabungkan semua unsur tersebut berarti telah melakukan zikir secara sempurna. Menurut Syekh Ibnu Atha’illah, zikir lisan adalah dzikir dgn kata2 semata, tanpa kehadiran kalbu (hudhur). Zikir ini adalah zikir lahiriah yg memiliki keutamaan besar spt yg ditunjukkan oleh beberapa ayat Al-Quran, hadis, dan atsar. Zikir lisan terbagi dalam beberapa bagian. Ada yang terikat dengan waktu dan tempat, serta ada pula yang bebas (tidak ditentukan tempat dan waktunya). Dzikir yang terikat, misalnya bacaan ketika shalat dan setelah shalat, bacaan ketika haji, sebelum tidur, setelah bangun, sebelum makan, ketika menaiki kendaraan, dzikir di waktu pagi dan petang, dan seterusnya.

Sementara yang tidak terikat dengan waktu, tempat, ataupun kondisi, misalnya pujian kepada Allah seperti dalam untaian kalimat, “Subhana Allah wa al-hamdu li Allah wa la ilaha illa Allah wa Allah akbar wa la hawla wa la quwwata illa bi Allah al-‘aly al-‘azhim (Mahasuci Allah, segala puji bagi-Nya, tiada tuhan selain-Nya, dan Allah Mahabesar, tiada daya dan kekuatan kecuali dan pertolongan Allah Yang Mahatinggi dan Mahabesar).” Contoh lainnya adalah dzikir berupa doa seperti, “Rabbana la tu’akhidzna in nasina aw akhtha’na...,” atau munajat lainnya. Selain itu, terdapat pula bacaan shalawat atas Nabi SAW yang akan memberi pengaruh lebih besar ke dalam kalbu para pemula daripada dzikir yang tidak disertai munajat. 


Sebab, orang yang bermunajat, kalbunya merasa dekat dgn Allah. Ia termasuk sarana yg memberikan pengaruh tertentu dan menghiaskan rasa takut pada kalbu. Zikir lisan ada yang bersifat ri’ayah misalnya ketika mengucapkan kalimat, “Allah bersamaku, Allah melihatku.” Ucapan tersebut mengandung usaha untuk menjaga kemaslahatan kalbu. Ia adalah dzikir untuk memperkuat kehadiran kalbu bersama Allah, memelihara etika di hadapan-Nya, menjaga diri dari sikap lalai, berlindung dari setan terkutuk, dan untuk bisa khusyuk dalam ibadah.” (Syekh Ibnu Atha’illah dalam Miftah al-Falah wa Misbah al-Arwah).

No comments:

Post a Comment